Rabu, 02 Maret 2016





Ø   FORMUA ASLI
Suppositoria Analgetik-Antipiretik
A.      RANCANGAN FORMULA
Tiap 3 g  mengandung
Aspirin                  21,66 %
Cera Flava            5        %
 tokoferol            0,05  %
Ol. Cacao              76,17 %

B.     MASTER FORMULA
Nama Produk              : SUPAS Suppositoria
Nama Pabrik               : PT. PRABE
Tanggal Formulasi       : 06 Februari 2015
Tanggal Produksi        : 09 Februari 2015
No. Reg                       : DKL 1500100353 A1
No. Batch                    : B 001003
Jumlah Produk            : 2

TABEL MASTER FORMULA
Diproduksi oleh :
PT. PRABE
Tanggal Produksi
09 Februari 2015
Disetujui oleh  Tim Asisten
No.Reg : DKL 1500100353 A1
No. Batch : B 001003
Kode Bahan
Nama Bahan
Kegunaan
Dosis
Batch
001-AS
002-CF
003- T
004-OC
Aspirin
Cera Flava
 tokoferol
Ol. Cacao
 Zat Aktif
Pengeras
Antioksidan
Basis
21,66 %
5 %
0,05  %
76,17 %
1,3 g
0,3 g
0,003 g
4,57 g




C.    STUDI PREFORMULASI
a.       Uraian sifat fisika-kimia
-       Alasan Pemilihan zat aktif
Asam salisilat sangat iritatif, sehingga hanya digunakan sebagai obat luar. Derivatnya yang dapat dipakai secara sistemik adalah ester salisilat dari asam organik dengan substitusi pada gugus hidroksil misalnya asetosal. Sehingga zat aktif yang digunakan yaitu Asetosal. (Farmakologi terapi :  234)
Aksi sistemik sering digunakan sebagai tempat absorpsi. Obat yang digunakan melalui rektum dalam bentuk suppositoria untuk mendapatkan efek sistemiknya terdiri dari aspirin untuk aktivitas analgetik dan antipiretik. (Ansel: 578)
Adapun alasan pemilihan konsentrasi zat aktif yaitu aspirin dapat diberikan secara rektal dengan supositoria. Diulang setiap 4 sampai 6 jam sesuai dengan kebutuhan klinis, untuk maksimal 4 g sehari. Dosis sebagai supositoria adalah 450-900 mg setiap 4 jam sampai maksimal 3,6 g sehari (Martindale 36: 23 ) dan suppositoria rektum zat aktif aspirin dalam satu suppositoria 65, 130, 162, 195, 325, 650, 975 mg dan 1,3 g. Sehingga zat aktif yang digunakan yaitu 650 mg sesuai dengan dosis suppositoria menurut mantindal.(Ansel : 593)
-          Alasan pemilihan basis Oleum Cacao
Faktor fisika kimia dari obat dan basis suppositoria mencakum mengenai sifat-sifatnya seperti kelarutan relatif obat lemak dan air serta ukuran partikel dari obat yang menyebar. Faktor fisika kimia basis melengkapi kemampuannya melebur, melunak, atau melarut pada suhu tubuh, pada ukuran partikel untuk obat dalam suppositoria yang tidak larut maka ukuran partikelnya akan mempengaruhi jumlah obat yang dilepaskan dan melarut untuk absorpsi. Penelitian saat ini menuntukkan bahwa aspirin yang dibuat dalam basis oleum cacao, melarut dalam sirkulasi rektum lebih cepat dan diaabsorpsi serta diekskresi lebih cepat bila dalam ukuran partikel kecil.  Basis ini juga merupakan basis yang akan mudah melepas zat aktif kedalam cairan mukosa. Dimana oleum cacao yang melebur pada suhu 30  – 36  (Ansel : 580)
-          Alasan penambahan  tokofero
Alpa tokoferol diakui sebagai sumber vitamin E. Alpha-tokoferol adalah senyawa yang sangat lipofilik, dan meruaka pelarut yang sangat baik untuk banyak obat yang sukar larut. Alpha-tokoferol merupkan prduk farmasi berbasis lemak dan biasanya digunakan konsentrasi berkisar 0,001-0,05 % v/v. Sehingga digunakan 0,05 %  karena dilihat dari efek sistemik yang dgunakan (Exp : 31)
-          Alasan penambahan Cera flava
Apabila dipaaskan pada suhu tinggi, lemak coklat akan mencair seperti minyak, tetapi akan kehilangan inti konstannya yang berguna untuk memadat, lemak coklat akan mengkristal dalm bentuk kristal menstabil seperti minyak. Jika didinginkan dibawah suhu 15  untuk menaikkan titik lelehnya kedalam lemak coklat dapatditambahkan cera flava atau cetasium. Penambahan cea flava dapat menambahnkan daya serap lemak coklat terhadap lemak air coklat cepat membeku saat pengisian massa suppositoria kedalam cetakan suppo dan menyusutkan pada saat penddinginan sehingga terbentuk pendinginan sehingga terbentuk lubang di atas massa akan ditambahkan cera flava dengan konsentrasi 5 % agar tidak menjadi lemak. Penambahan cera flava tidak boleh lebih dari 6 % karena akan menghasilkan campuran yang memiliki titik lebur diatas 37  dan apabila diatas 4 % akan menghasilkan titik lebur dibawah 33


Uraian Bahan
Ø  Aspirin (FI  Ed III :  43)
Nama Resmi            : ACIDUM ACETYLSALICYLICUM
Nama Lain               : Asam asetilsalisilat, asetosal, aspirin
Rumus Molekul       : C9H8O4
Berat Molekul          : 180,16
Pemerian                  : Hablur tidak berwarna atau serbuk hablur putih, tida berbau atau hampr tidak berbau, rasa asam.
Kelarutan                 : Agak sukar larut dalam air, mudah larut dalam etanol (95 %) P, larut dalam kloroform  P dan dalam eter P.
Inkampabilitas         : Dapat membentuk basa untuk massa pucat ketika triturated dengan asetanilida, acetophenetidin, antipyrine, aminopyrine, methenamine, fenolatausalol, serbuk yang mengandung aspirin dengan garam alkali.seperti natrium bikarbonat dapat menjadi gummi pada kontak dengan kelembapan atmosfir karena solusi parsial dan idrlisis selanjutnya aspirin. Hidrolisis juga terjadi dalam campuran dengan garam yang mengandung air kristal. Larutan alkali asetat dan sitrat, serta alkali sendiri, melarutkan obat ini tetapi solusi yang dihaslkan menghidrolisis cepat membentuk garam asam asetat dan salisislat. Gula dan gliserin telah terbukti menghambat komposisi. Sangan lambat membebaskan kalium asam hidriodic atau natrium iodida. Oksidasi selanjutnya oleh udara menghasilkan iodium bebas.
Stabilitas                  : -
Penyimpanan           : Dalam wadah tertutup baik
Dosis                        : Sekali 1 gram sehari 8 gram
Khasiat                     : Analgetikum, Antipiretikum
Ø   tokoferol (Exp : 31)
Nama Resmi                : TOCOPHEROLUM
Nama Lain                  : Tokoferol, vitamin E
Rumus Molekul           : C29H50O2
Berat Molekul             : 430,72
Pemerian                     : Alpha tokoferol merupakan produk alami. Tidak berwarna atau   kuning-coklat, kental, cairan berminyak.
Kelarutan                    : Agak sukar larut dalam air, mudah larut dalam etanol (95 %) P, larut dalam kloroform  P dan dalam eter P.
Inkampabilitas             : Tokoferol tidak kompatibel dengan peroksida dan ion logam, terutama besi, tembaga, dan perak. Tokoferol dapat diserap kedalam plastik.
Stabilitas                     : Tokoferol teroksdasi perlahan oleh oksgen atmosfer dan cepat dengan garam besi dan perak. Produk oksidasi meliputi tocopheroxide, tocopherylquinone, dan tocopherylhydroquinone, serta dimer dan trimer. Tokofroll ester yang lebih stabil untuk oksidasi dari tokoferol gratis tetapi sebagai akibat kurang antioksidan yang efektif.
Penyimpanan               : harus disimpan dalam gas inert, dalam kedap udara wadah di tempat yang sejuk dan kering terlindung dari cahaya
Dosis                           : 0,001 % - 0,05 %
Khasiat                        : Antioksidan
Ø  Oleum cacao (FI Edisi III : 453)
Nama Resmi                : OLEUM CACAO
Nama Lain                  : Lemak coklat
Pemerian                     : lemak padat, putih kekuninga, bau khas aromatik, rasa khas lemak, agak rapuh.
Kelarutan                    :Sukar larut dalam etanol (95%), mudah larut dalam kloroform p, dalam eter p dan dalam eter minyak tanah p.
Penyimpanan               : Dalam wadah tertutup baik
Khasiat                        : Analgetikum, Antipiretikum

Ø  Cera flava (FI Ed III : 140)
Nama Resmi                : CERA FLAVA
Nama Lain                  : Malam kuning
Rumus Molekul           : C11H12C12N2O5
Berat Molekul             : 680,8
Pemerian                     :Zat padatt, coklat kekuningan, bau enak seerti madu, agak rapuh jika dingin, menjadi elastik jika hangat dan bekas patahan buram dan berbutir-butir.
Kelarutan                    : Praktis tidak larut dalam air, sukar larut dalam etanol (95%), larut dalam kloroform p, dalam eter p hangat, dalam minyak lemak dan dalam minyak atsiri.
Inkampabilitas             : tidak kompatibel dengan oksidator.
Stabilitas                     :Ketika lilin yang dipanaskan diatas 1508  esterifikasi terjasi dengan akibat penurunan nilai asam dan elefasi titik lebur. Lilin kuning stail bila disiman dalam wadah tertutup atau terlindung dari cahaya
Penyimpanan               : Dalam wadah tertutup baik
Khasiat                        : Zat tambahan (pengeras suppositoria).

b.      Uraian farmakologi
-       Aspirin (Martindale 36 Hal 20-25)
1.      Indikasi                
Antipiretik, Dosis salisilat untuk dewasa ialah 325 mg-650 mg, diberikan secara oral tiap 3 atau 4 jam. Untuk anak 15-20 mg/kgBB, diberikan tiap 4-6 jam. Berdasarkan asosiasi penggunaan aspirin dengan Sindroma Reye, aspirin dikonsentrasikan sebagai antipiretik pada anak di bawah 12 tahun.
            Analgesik, salisilat bermanfaat untuk mengobati nyeri tidak spesifik misalnya sakit kepala, nyeri sendi, nyeri haid, neuralgia dan mialgia. Dosis sama seperti pada penggunaan untuk antipiretik.
2.      Dosis        
Aspirin dapat diberikan secara rektal dengan supositoria. Dosis lisan biasa aspirin sebagai analgesik dan antipiretik adalah 300-900 mg, diulang setiap 4 sampai 6 jam sesuai dengan kebutuhan klinis, untuk maksimal 4 g sehari. Dosis sebagai supositoria adalah 450-900 mg setiap 4 jam sampai maksimal 3,6 g sehari. (Martindale : 23)



3.      Mekanisme kerja
Aspirin adalah asam organik lemah yang unik diantara OAINS, yaitu aspirin mengasetilasi secara ireversibel (sehingga menginaktifkan) siklooginase. OAINS lainnya, termasuk salisilat, merupakan penghambat siklooksigenase reversibel. Aspirin di-deasetilasi secara cepat oleh esterase dalam tubuh yang menghasilkan salisilat, yang berefek ati inflamasi, antipireti, dan analgesik. Efek antipiretik dan antiinflamasi salisilat terutama dihasilkan karena penghambatan sintesis prostaglandin termoreguasi pada hipotalamus dan lokasi target perifer lebih lanjut, dengan menurunkan sintesis prostaglandin, salisilat juga mencegah sensitisasi reseptor nyeri terhadap rangsangan mekanis dan kimia. Aspirin juga dapat menekan rangsangan nyeri pada area subkorteks (talamus dan hipotalamus).
Kerja analgesik : Prostaglandin E2 (PEG2) diduga menyebabkan sensitisasi ujung saraf terhadap kerja bradikin, histamin, dan mediator kimiawi lainnya yang dilepaskan secara lokal oleh proses inflamasi. Oleh sebab itu, dengan menurunkan sistensis PEG2, aspirin dan OAINS lainnya menekan sensasi nyeri. Salisilat digunakan terutama untuk penataalksanaan nyeri dengan intensitas rendah hingga sedang yang berasal dari gangguan muskuloskeleton dan bukan yang berasal dari viseral. Kombinasi opioid dan OAINS efektif dalam penekanaan nyeri yang disebabkan oleh keganasan. Diflunisal bersifat tiga hingga empat kali lipat lebih kuat dari pada aspirin sebagai analgesik dan agen antiinflamasi, tetapi obat tersebut tidak memiliki antipiretik.
Kerja antipiretik : demam terjadi bila titik pengaturan pusat, termoregulasi dalam hipotalamus anterior meningkat. Hal ini dapat disebabkan oleh sintesis  PEG2, yang dirangsang ketika suatu agen penghasil demam endogen (pirogen), seperti sitokin, dilepaskan dari sel darah putih diaktifkan oleh infeksi, hipersensitivitas, keganasan, atau inflamasi. Salisilat menurunkan suhu tubuh pada pasien demam melalui peggangguan sintesis dan pelepasan PEG2. Aspirin mengatur ulag termostat menjadi normal dan menurunkan secara cepat suhu tubuh pasien demam dengan meninggkatkan penghilangan panas sebagai akibat dari vasodilatasi perifer dan berkeringat. Aspirin tidak memiliki efek terhadap suhu tubuh normal. Diflunisol tidak menurunkan demam karena tidak melewati sawar darah otak. (Farmakologi ulasan bergambar ed 4 : 598-599)
4.      Farmakokinetik                
Aspirin dan salisilat lainnya diserap cepat dari saluran pencernaan bila diambil secara lisan, dan penyerapan setelah dosis dubur dapat diandalkan. Aspirin dan lainnya salisilat juga dapat diserap melalui kulit. Setelah dosis oral, penyerapan aspirin non-terionisasi terjadi dalam lambung dan usus. Beberapa aspirin dihidrolisis menjadi salisilat dalam dinding usus. (Martindale 36 : 23)
5.      Farmakodinamik  
Salisilat, khususnya asetosal merupakan obat yang banyak digunakan sebagai analgesik, antipiretik dan anti-inflamasi. Aspirin dosis terapi bekerja cepat dari efektif sebagai antipiretik. Dosis toksik obat ini justru memperlihatkan efek piretik sehingga pada keracunan berat ddemam dan hiperhidrosis. Untuk memperoleh efek anti-inflamasi yang baik kadar plasma perlu dierhatikan antara 250-300 L. Kadar ini tercapai dengan dosis aspirin oral 4 gram per hari untuk orang dewasa. (Farmakologi dan Terapi Ed 5 : 234)

6.      Aturan pakai
      4 x sehari tiap 6 jam. Dimasukkan kedalam rektum. (Martindale : 23)
7.      Cara penggunaan  
Aspirin dan salisilat lainnya memiliki analgesik, anti-inflamasi, dan sifat antipiretik; mereka bertindak sebagai inhibitor enzim siklooksigenase, yang menghasilkan langsung penghambatan biosintesis prostaglandin dan tromboksan dari asam arakidonat. Dan dapat diberikan secara rektal dengan suppositoria. (Martindale : 23)
8.      Perhatian
Suppositoria berbasis oleum cacao harus disimpan pada suhu dibawah 30  dan lebih baik di simpan dalam lemari es. (Ansel:592)                               
9.      Interaksi
Beberapa efek aspirin pada gastrointestinal saluran yang ditingkatkan oleh alkohol. Penggunaan senyawa emas dengan aspirin dapat memperburuk kerusakan hati yang diinduksi aspirin. (Martindal : 23)
c.       Dasar pemilihan bentuk sediaan
Umumnya suppositoria rektum panjangnya  32 mm (1,5 inci), berbentuk silider  kedua ujungnya tajam. Beberapa suppositoria untuk rektum diantaranya ada yang berbentuk seperti peluru, terpedo, atau jari-jari kecil, tergantuk kepada bobot jenis bahan obat dan basis yang digunakan, beratnyapn berbeda-beda. (Ansel : 576)
d.      Dasar pemilihan wadah
Suppositoria yang diolah dengan basis oleum caccao biasanya dibungkus terpisah-pisah atau dipisahkan satu sama lainnya pada celah-celah dalam kotak untuk mencegah terjadinya hubungan antar supppositoria tersebut dan mencegah perekatan, sebenarnya kebanyakn suppositoria yang terdapt dipasaran terbungkus dengan aluminium voil atau bahan lastik satu persatu. Beberapa diantaranya dikemas dalam strip kontinyu berisi suppositoria yang dipisahkan dengan merobek lubang-lubang yang terdapat diantara suppositoria tersebut. Suppositoria ini dikemas dalam kotak dorong atau dalam kotak plastik. (Ansel : 592)

D.    Perhitungan
Ø  Perhitungan Bahan
Aspirin            =  x 3        = 0,65 g
                        = 0,65 g x 2     = 1,3 g
Cera flava        =  x 3          = 0,15 g
                        = 0,15 g x 2     = 0,3 g
- tokoferol     =  x 3          = 0,0015 g
                        = 0,0015 g x 2  = 0,003 g
Oleum Cacao =
Ø  Perhitungan nilai tukar
Aspirin                        = 0,65 g x 2     = 1,3 g
Berat Suppositoria      = 3 x 2             = 6 g
Oleum cacao yang ditambahkan sebanyak
                                    = 1,3 g x 1,1 = 1,43
                                    = 6 g – 1,43  = 4,57 ( dalam dua suppo)
                                    = 4,57 /  2     = 2,285 g (satu suppo)









E.     Metode kerja
1.      Disiapkan alat dan bahan
2.      Ditimbang Cera flava 0,3 g
3.      Ditimbang oleum cacao diatas cawan porselin 4,57 g
4.      Dimasukkan cera flava bersama oleum cacao lalau dilebur
5.      Ditimbang aspirin 1,3 g, masukkan bersama bahan lainnya hingga homogen, biarkan hingga agak dingin.
6.      Ditimbang alfa tokoferor 0,003 g dicampur dengan bahan lan hingga homogen
7.      Dicetak dalam ccetakan suppo
8.      Dimasukkan dalam wadah
9.      Masukkan dalam kulkasSuppositoria adalah sediaan padat yang digunakan melalui dubur, berbentuk torpedo, dapat melunak, melarut atau meleleh pada suhu tubuh. (Moh. Anief. 1997)
Suppositoria adalah sediaan padat dalam berbagai bobot dan bentuk, yang diberikan melalui rectal, vagina atau uretra. (Farmakope Indonesia Edisi IV)
Suppositoria adalah sediaan padat yang digunakan melalui dubur, umumnya berbentuk torpedo, dapat melarut, melunak atau meleleh pada suhu tubuh. ( Farmakope Indonesia Edisi III)
Suppositoria adalah sediaan padat, melunak, melumer dan larut pada suhu tubuh, digunakan dengan cara menyisipkan ke dalam rectum, berbentuk sesuai dengan maksud penggunaannya, umumnya berbentuk torpedo. (Formularium Nasional)
Jadi, suppositoria dapat didefinisikan sebagai suatu sediaan padat yang berbentuk torpedo yang biasanya digunakan melalui rectum dan dapat juga melalui lubang di area tubuh, sediaan ini ditujukan pada pasien yang mudah muntah, tidak sadar atau butuh penanganan cepat.
2.2 Macam-macam Suppositoria
a.    Suppositoria untuk rectum (rectal)
Suppositoria untuk rektum umumnya dimasukkan dengan jari tangan. Biasanya suppositoria rektum panjangnya ± 32 mm (1,5 inchi), dan berbentuk silinder dan kedua ujungnya tajam. Bentuk suppositoria rektum antara lain bentuk peluru, torpedo atau jari-jari kecil, tergantung kepada bobot jenis bahan obat dan basis yang digunakan. Beratnya menurut USP sebesar 2 g untuk yang menggunakan basis oleum cacao (Ansel, 2005).
b.   Suppositoria untuk vagina (vaginal)
Suppositoria untuk vagina disebut juga pessarium biasanya berbentuk bola lonjong atau seperti kerucut, sesuai kompendik resmi beratnya 5 g, apabila basisnya oleum cacao.
c.    Suppositoria untuk saluran urin (uretra)
Suppositoria untuk untuk saluran urin juuga disebut bougie, bentuknya rampiung seperti pensil, gunanya untuk dimasukkan kesaluran urin pria atau wanita. Suppositoria saluran urin pria bergaris tengah 3-6 mm dengan panjang ± 140 mm, walaupun ukuran ini masih bervariasi satu dengan yang lainnya. Apabila basisnya dari oleum cacao beratnya ± 4 g. Suppositoria untuk saluran urin wanita panjang dan beratnya ½ dari ukuran untuk pria, panjang ± 70 mm dan beratnya 2 g, inipun bila oleum cacao sebagai basisnya.
d.   Suppositoia untuk hidung dan telinga
Suppositoia untuk hidung dan telinga yang disebut juga kerucut telinga, keduanya berbentuk sama dengan suppositoria saluran urin hanya ukuran panjangnya lebih kecil, biasanya 32 mm. Suppositoria telinga umumnya diolah dengan suatu basis gelatin yang mengandung gliserin. Seperti dinyatakan sebelumnya, suppositoria untuk obat hidung dan telinga sekarang jarang digunakan.

2.3 Tujuan Penggunaan Supositoria
1. Untuk tujuan lokal, seperti pada pengobatan wasir atau hemoroid dan penyakit infeksi lainnya. Suppositoria juga dapat digunakan untuk tujuan sistemik karena dapat diserap oleh membrane mukosa dalam rectum. Hal ini dilakukan terutama bila penggunaan obat per oral tidak memungkinkan seperti pada pasien yang mudah muntah atau pingsan.
2. Untuk memperoleh kerja awal yang lebih cepat. Kerja awal akan lebih cepat karena obat diserap oleh mukosa rektal dan langsung masuk ke dalam sirkulasi pembuluh darah.
3. Untuk menghindari perusakan obat oleh enzim di dalam saluran gastrointestinal dan perubahan obat secara biokimia di dalam hati (Syamsuni, 2005).

2.4 Keuntungan dan Kerugian Supositoria
2.4.1 Keuntungan Supositoria:
a.    Dapat menghindari terjadinya iritasi pada lambung.
b.    Dapat menghindari keruskan obat oleh enzim pencernaan dan asam lambung.
c.    Obat dapat masuk langsung kedalam saluran darah sehingga obat dapat berefek lebih
    cepat daripada penggunaan obat peroral.
d.   Baik bagi pasien yang mudah muntah atau tidak sadar.
2.4.2 Kerugian Supositoria:
a.    Pemakaiannya tidak menyenangkan.
b.    Tidak dapat disimpan pada suhu ruang.

2.4.3        Persyaratan Supositoria
Sediaan supositoria memiliki persyaratan sebagai berikut:
1.    Supositoria sebaiknya melebur dalam beberapa menit pada suhu tubuh atau melarut
    (persyaratan kerja obat).
2.    Pembebasan dan responsi obat yang baik.
3.    Daya tahan dan daya penyimpanan yang baik (tanpa ketengikan, pewarnaan,
    penegerasan, kemantapan bentuk, daya patah yang baik, dan stabilitas yang memadai
    dari bahan obat).
4.    Daya serap terhadap cairan  lipofil dan hidrofil.

2.5 Basis supositoria
            Sediaan supositoria ketika dimasukkan dalam lubang tubuh akan melebur, melarut dan terdispersi. Dalam hal ini, basis supositoria memainkan peranan penting. Maka dari itu basis supositoria harus memenuhi syarat utama, yaitu basis harus selalu padat dalam suhu ruangan dan akan melebur maupun melunak dengan mudah pada suhu tubuh sehingga zat aktif atau obat yang dikandungnya dapat melarut dan didispersikan merata kemudian menghasilkan efek terapi lokal maupun sistemik. Basis supositoria yang ideal juga harus mempunyai beberapa sifat seperti berikut:
1.    Tidak beracun dan tidak menimbulkan iritasi.
2.    Dapat bercampur dengan bermacam-macam obat.
3.    Stabil dalam penyimpanan, tidak menunjukkan perubahan warna dan bau serta pemisahan obat.
4.    Kadar air mencukupi.
5.    Untuk basis lemak, maka bilangan asam, bilangan iodium dan bilangan penyabunan harus diketahui jelas.

2.5.1 Persayaratan Basis Suppositoria
1.    Secara fisiologi netral (tidak menimbulkan rangsangan pada usus, hal ini dapat disebabkan oleh massa yang tidak fisiologis ataupun tengik, terlalu keras, juga oleh kasarnya bahan obat yang diracik).
2.    Secara kimia netral (tidak tersatukan dengan bahan obat).
3.    Tanpa alotropisme (modifikasi yang tidak stabil).
4.    Interval yang rendah antara titik lebur dan titik beku (pembekuan dapat berlangsung cepat dalam cetakan, kontraksibilitas baik, mencegah pendinginan mendaak dalam cetakan).
5.    Interval yang rendah antara titik lebur mengalir denagn titik lebur jernih (ini dikarenakan  untuk kemantapan bentuk dan daya penyimpanan, khususnya pada suhu tinggi sehingga tetap stabil).
2.5.2 Macam-macam Basis Suppositoria
1.    Basis berlemak, contohnya: oleum cacao.
2.    Basis lain, pembentuk emulsi dalam minyak: campuran tween dengan gliserin laurat.
3.    Basis yang bercampur atau larut dalam air, contohnya: gliserin-gelatin, PEG (polietien glikol).

2.5.3 Bahan Dasar Supositoria
1.    Bahan dasar berlemak: oleum cacao
     Lemak coklat merupakan trigliserida berwarna kekuninagan, memiliki bau yang khas dan bersifat polimorf (mempunyai banyak bentuk krital). Jika dipanaskan pada suhu sektiras 30°C akan mulai mencair dan biasanya meleleh sekitar 34°-35°C, sedangkan dibawah 30°C berupa massa semipadat. Jika suhu pemanasannya tinggi, lemak coklat akan mencair sempurna seperti minyak dan akan kehilangan semua inti kristal menstabil.
Ø Keuntungan oleum cacao:
a.    Dapat melebur pada suhu tubuh.
b.    Dapat memadat pada suhu kamar.
Ø Kerugian oleum cacao:
a.    Tidak dapat bercampur dengan cairan sekresi (cairan pengeluaran).
b.    Titik leburnya tidak menentu, kadang naik dan kadang turun apabila ditambahkan dengan bahan tertentu.
c.    Meleleh pada udara yang panas.

2.    PEG (Polietilenglikol)
     PEG merupakan etilenglikol terpolimerisasi dengan bobot molekul antara 300-6000. Dipasaran terdapat PEG 400 (carbowax 400). PEG 1000 (carbowax 1000), PEG 1500 (carbowax 1500), PEG 4000 (carbowax 4000), dan PEG 6000 (carbowax 6000). PEG di bawah 1000 berbentuk cair, sedangkan di atas 1000 berbentuk padat lunak seperti malam. Formula PEG yang dipakai sebagai berikut:
1.    Bahan dasar tidak berair: PEG 4000 4% (25%) dan PEG 1000 96% (75%).
2.    Bahan dasar berair: PEG 1540 30%, PEG 6000 50% dan aqua+obat 20%.
Titik lebur PEG antara 35°-63°C, tidak meleleh pada suhu tubuh tetapi larut dalam cairan
sekresi tubuh.
Ø Keuntungan menggunakan PEG sebagai basis supositoria, antara lain:
1.    Tidak mengiritasi atau merangsang.
2.    Tidak ada kesulitan dengan titik leburnya, jika dibandingkan dengan oleum cacao.
3.    Tetap kontak dengan lapisan mukosa karena tidak meleleh pada suhu tubuh.
Ø Kerugian jika digunakan sebagai basis supositoria, antara lain:
1.    Menarik cairan dari jaringan tubuh setelah dimasukkan, sehingga timbul rasa yang
  menyengat. Hal ini dapat diatasi dengan cara mencelupkan supositoria ke dalam air  
  dahulu sebelum digunakan.
2.    Dapat memperpanjang waktu disolusi sehingga menghambat pelepasan obat.
      Pembuatan supositoria dengan PEG dilakukan dengan melelehkan bahan dasar, lalu   
      dituangkan ke dalam cetakan seperti pembuatan supositoria dengan bahan dasar lemak  
      coklat.

2.6 Faktor-faktor yang mempengaruhi Absobsi Obat per Rektal
Rektum mengandung sedikit cairan dengan PH 7,2 dan kapasitas dapar rendah. Epitel rektum sifatnya berlipoid (berlemak) maka diutamakan permeabel terhadap obat yang tidak terionisasi (obat yang mudah larut lemak).

2.7  Nilai Tukar
Nilai tukar adalah nilai yang digunakan untuk mengurangi kadar zat aktif. Tujuan dari pengurangan zat aktif adalah meminimalisir over dosis yang ditimbulkan. Karena zat aktif yang tertera pada literature merupakan kadar zat aktif yang digunakan secara oral, maka pada penggunaan untuk rectal kadar zat aktif harus dikurangi. Hal ini berkaitan dengan proses farmakokinetik di dalam tubuh. Untuk obat-obat oral prosesnya melalui ADME sedangkan untuk obat-obat lokal (suppo) prosesnya tidak melalui ADME melainkan langsung diserap oleh permukaan mukosa rectal, kemudian masuk ke pembuluh darah selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah. Oleh karena itu, jika zat aktif masih menggunakan dosis oral, maka dikhawatirkan terjadi over dosis pada pasien.
Pada pembuatan supositoria menggunakan cetakan, volume supositoria harus tetap. Tetapi, bobotnya beragam tergantung pada jumlah dan bobot jenis yang dapat diabaikan, misalnya ekstrak belladonea dan garam alkaloid.
Nilai tukar dimaksudkan untuk mengetahui bobot minyak cokelat yang mempunyai volume yang sama dengan 1g obat. Berikut adalah tabel nilai tukar:


Nama Obat
Nilai tukar ol cacao per 1g
Acidum boricum
0.65
Garam alkaloid
0.7
Bismuth subgallas
0.37
Ichtammolum
0.72
Tanninum
0.68
Aethylis aminobenzoas
0.68
Aminoplhylinum
0.86
Bismuth subnitras
0.20
Sulfonamidum
0.60
Zinci oxydum
0.25
     
           Dalam praktik, nilai tukar beberapa obat adalah 0.7 kecuali untuk garam Bismuth dan Zincy Oxydum. Untuk larutan nilai tukarnya dianggap satu. Bila supositoria mengandung obat atau zat padat yang banyak, pengisian pada cetakan berkurang dan jika dipenuhi dengan campuran massa, akan diperoleh jumlah obat yang melebihi dosis. Oleh sebab itu, untuk membuat supositoria yang sesuai dapat dilakukan dengan cara menggunakan perhitungan nilai tukar.

2.8 Uji Bahan Aktif
1. Titik lebur
Titik lebur adalah suhu di mana zat yang kita uji pertama kali melebur atau meleleh seluruhnya yang ditunjukan pada saat fase padat cepat hilang. Dalam analisa farmasi titik lebur untuk menetapkan karakteristik senyawa dan identifikasi adanya pengotor. Untuk uji titik lebur di butuhkan alat pengukuran titik lebur yaitu, Melting Point Apparatus (MPA) alat ini digunakan untuk melihat atau mengukur besarnya titik lebur suatu zat.

2. Bobot jenis
Bobot jenis adalah perbandingan bobot jenis udara pada suhu 25 terhadap bobot air dengan volume dan suhu yang sama. Bobot jenis suatu zat adalah hasil yang diperoleh dengan membagi bobot jenis dengan bobot air dalam piknometer. Lalu dinyatakan lain dalam monografi keduanya ditetapkan pada suhu 25. (FI IV hal 1302). Bobot jenis dapat digunakan untuk:
§     Mengetahui kepekaan suatu zat
§     Mengetahui kemurniaan suatu zat
§     Mengetahui jenis zat
Piknometer untuk menentukan bobot jenis zat padat dan zat cair. Zat padat berbeda dengan zat cair, zat padat memiliki pori dan rongga sehingga berat jenis tidak dapat terdefinisi dengan jelas. Berat jenis sejati merupakan berat jenis yang dihitung tanpa pori atau rongga ruang. Sedangkan berat jenis nyata merupakan berat jenis yang di hitung sekaligus degan porinya sehingga  nyata <  sejati.
2.9  Metode Pembuatan
Pembuatan supositoria secara umum yaitu bahan dasar supositoria yang digunakan dipilih agar meleleh pada suhu tubuh atau dapat larut dalam bahan dasar, jika perlu dipanaskan. Jika obat sukar larut dalam bahan dasar, harus dibuat serbuk halus. setelah campuran obat dan bahan dasar meleleh atau mencair, tuangkan ke dalam cetakan supositoria kemudian didinginkan. Tujuan dibuat serbuk halus untuk membantu homogenitas zat aktif dengan bahan dasar.
Cetakan suppositoria terbuat dari besi yang dilapisi nikel atau logam lainnya, namun ada juga yang terbuat dari plastik. Cetakan ini mudah dibuka secara longitudinal untuk mengeluarkan supositoria. Untuk mengatasi massa yang hilang karena melekat pada cetakan, supositoria harus dibuat berlebih (±10%), dan sebelum digunakan cetakan harus dibasahi lebih dahulu dengan parafin cair atau minyak lemak, atau spiritus sapotanus (Soft Soap Liniment) agar sediaan tidak melekat pada cetakan. Namun, spiritus sapotanus tidak boleh digunakan untuk supositoria yang mengandung garam logam karena akan bereaksi dengan sabunnya dan sebagai pengganti digunakan oleum recini dalam etanol. Khusus supositoria dengan bahan dasar PEG dan Tween bahan pelicin cetakan tidak diperlukan, karena bahan dasar tersebut dapat mengerut sehingga mudah dilepas dari cetakan pada proses pendinginan.
Metode pembuatan supositoria dibagi menjadi 3 yaitu:
a.                  Dengan tangan
Yaitu dengan cara menggulung basis suppositoria yang telah dicampur homogen dan mengandung zat aktif, menjadi bentuk yang dikehendaki. Mula-mula basis diiris, kemudian diaduk dengan bahan-bahan aktif dengan menggunakan mortir dan stamper, sampai diperoleh massa akhir yang homogen dan mudah dibentuk. Kemudian massa digulung menjadi suatu batang silinder dengan garis tengah dan panjang yang dikehendaki. Amilum atau talk dapat mencegah pelekatan pada tangan. Batang silinder dipotong dan salah satu ujungnya diruncingkan.
b.                  Dengan mencetak kompresi
Hal ini dilakukan dengan mengempa parutan massa dingin menjadi suatu bentuk yang dikehendaki. Suatu roda tangan berputar menekan suatu piston pada massa suppositoria yang diisikan dalam silinder, sehingga massa terdorong kedalam cetakan.
c.                   Dengan mencetak tuang
Pertama-tama bahan basis dilelehkan, sebaiknya diatas penangas air atau penangas uap untuk menghindari pemanasan setempat yang berlebihan, kemudian bahan-bahan aktif diemulsikan atau disuspensikan kedalamnya. Akhirnya massa dituang kedalam cetakan logam yang telah didinginkan, yang umumnya dilapisi krom atau nikel. 
2.10 Pengemasan Supositoria
a.    Supositoria gliserin dan supositoria gelatin gliserin umumnya dikemas dalam wadah gelas ditutup rapat supaya mencegah perubahan kelembapan dalam isi supositoria.
b.    Supositoria yang diolah dengan basis oleum cacao biasanya dibungkus terpisah-pisah atau dipisahkan satu sama lain pada celah-celah dalam kotak untuk mencegah perekatan.
c.    Supositoria dengan kandungan obat yang sedikit lebih pekat biasnya dibungkus satu per satu dalam bahan tidak tembus cahaya seperti lembaran metal (alumunium foil).

2.11Evaluasi Sediaan
Pengujian sediaan supositoria yang dilakukan sebagai berikut:
1.      Uji homogenitas
Uji homogenitas ini bertujuan untuk mengetahui apakah bahan aktif dapat tercampur rata dengan bahan dasar suppo atau tidak, jika tidak dapat tercampur maka akan mempengaruhi proses absorbsi dalam tubuh. Obat yang terlepas akan memberikan terapi yang berbeda. Cara menguji homogenitas yaitu dengan cara mengambil 3 titik bagian suppo (atas-tengah-bawah atau kanan-tengah-kiri) masing-masing bagian diletakkan pada kaca objek kemudian diamati dibawah mikroskop, cara selanjutnya dengan menguji kadarnya dapat dilakukan dengan cara titrasi.
2.                  Bentuk
Bentuk suppositoria juga perlu diperhatikan karena jika dari bentuknya tidak seperti sediaan suppositoria pada umunya, maka seseorang yang tidak tahu akan mengira bahwa sediaan tersebut bukanlah obat. Untuk itu, bentuk juga sangat mendukung karena akan memberikan keyakinan pada pasien bahwa sediaa tersebut adalah suppositoria. Selain itu, suppositoria merupakan sediaan padat yang mempunyai bentuk torpedo.
3.                  Uji waktu hancur
Uji waktu hancur ini dilakukan untuk mengetahui berapa lama sediaan tersebut dapat hancur dalam tubuh. Cara uji waktu hancur dengan dimasukkan dalam air yang di set sama dengan suhu tubuh manusia, kemudian pada sediaan yang berbahan dasar PEG 1000 waktu hancurnya ±15 menit, sedangkan untuk oleum cacao dingin 3 menit. Jika melebihi syarat diatas maka sediaan tersebut belum memenuhi syarat untuk digunakan dalam tubuh. Mengapa menggunakan media air? Dikarenakan sebagian besar tubuh manusia mengandung cairan.
4.                  Keseragaman bobot
Keseragaman bobot dilakukan untuk mengetahui apakah bobot tiap sediaan sudah sama atau belum, jika belum maka perlu dicatat. Keseragaman bobot akan mempengaruhi terhadap kemurnian suatu sediaan karena dikhawatirkan zat lain yang ikut tercampur. Caranya dengan ditimbang saksama 10 suppositoria, satu persatu kemudian dihitung berat rata-ratanya. Dari hasil penetapan kadar, yang diperoleh dalam masing-masing monografi, hitung jumlah zat aktif dari masing-masing 10 suppositoria dengan anggapan zat aktif terdistribusi homogen. Jika terdapat sediaan yang beratnya melebihi rata-rata maka suppositoria tersebut tidak memenuhi syarat dalam keseragaman bobot. Karena keseragaman bobot dilakukan untuk mengetahui kandungan yang terdapat dalam masing-masing suppositoria tersebut sama dan dapat memberikan efek terapi yang sama pula.
5.      Uji titik lebur
Uji ini dilakukan sebagai simulasi untuk mengetahui waktu yang dibutuhkan sediaan supositoria yang dibuat melebur dalam tubuh. Dilakukan dengan cara menyiapkan air dengan suhu ±37°C. Kemudian dimasukkan supositoria ke dalam air dan diamati waktu leburnya. Untuk basis oleum cacao dingin persyaratan leburnya adalah 3 menit, sedangkan untuk PEG 1000 adalah 15 menit.
6.      Kerapuhan
Supositoria sebaiknya jangan terlalu lembek maupun terlalu keras yang menjadikannya sukar meleleh. Untuk uji kerapuhan dapat digunakan uji elastisitas. Supositoria dipotong horizontal. Kemudian ditandai kedua titik pengukuran melalui bagian yang melebar, dengan jarak tidak kurang dari 50% dari lebar bahan yang datar, kemudian diberi beban seberat 20N (lebih kurang 2kg) dengan cara menggerakkan jari atau batang yang dimasukkan ke dalam tabung.
7.      Volume Distribusi
Volume distribusi (Vd) merupakan parameter untuk untuk menunjukkan volume penyebaran obat dalam tubuh dengan kadar plasma atau serum. Volume distribusi ini hanyalah perhitungan volume sementara yang menggambarkan luasnya distribusi obat dalam tubuh.
Tubuh dianggap sebagai 1 kompartemen yang terduru dari plasma atau serum, dan Vd adalah jumlah obat dalam tubuh dibagi dengan kadarnya dalam plasma atau serum.


Keterangan :
X = jumlah obat dalam tubuh                          C = kadar obat dalam plasma atau serum
DIV = dosis obat dalam pemberian IV             Doral         = dosis obat dalam pemberian oral
                                F = fraksi dosis oral yang mencapai peredaran darah sistemik dalam bentuk aktif.
            = bioavailabilitas absolute obat oral
     Co= kadar plasma atau serum pada waktu T = 0 (ekstrapolasi garis eliminasi ke t = 0 )

Besarnya Vd ditentukan oleh ukuran dan komposisi tubuh, kemampuan molekul obat memasuki berbagai kompartemen tubuh, dan derajat ikatan obat dengan protein plasma dan dengan berbagai jaringan. Obat yang tertimbun dalam jaringan mempunyai kadar dalam plasma  yang rendah sekali sedangkan Vd nya besar (misalnya, digoksin). Untuk obat yang terikat dengan kuat pada protein plasma mempunyai kadar plasma yang cukup tinggi dan mempunyai Vd yang kecil (misalnya, warfarin, tolbutamid dan salisilat). 
2.12Monografi
Monografi bahan dalam pembuatan sediaan supositorian adalah sebagai berikut:
1.    Aminophyllinum, Teofilin Etilendiamin (FI IV hal 90)

Pemerian: butir atau serbuk putih atau agak kekuningan, bau ammonia lemah, rasa pahit. Jika dibiarkan di udara terbuka, perlahan-lahan kehilangan etilenadiamina dan menyerap karbon dioksida dengan melepaskan teofilin. Larutan bersifat basa terhadap kertas lakmus.
Kelarutan: tidak larut dalam etanol dan dalam eter. Larutan 1 g dalam 25 air menghasilkan larutan jernih, larutan 1 g dalam 5 ml air menghablur jika didiamkan dan larut kembali jika ditambah sedikit etilenadiamina.
Khasiat: obat asma.
2      Bisakodil, Bisacodylum (FI IV hal 144)
Pemerian: serbuk hablur, putih sampai hampir putih, terutama terdiri dari partikel dengan diameter terpanjang lebih kecil dari 50 µm.
Kelarutan: praktis tidak larut dalam air, larut dalam kloroform, dan dalam benzene, agak sukar larut dalam etanol dan dalam methanol, sukar larut dalam eter.
Khasiat: obat  laksativum atau memperlancar BAB.
3.    Oleum Cacao (FI-III hal 453)
Lemak coklat adalahcoklat padat yang diperoleh dengan pemerasan panas biji Theo Broma Cacao L. yang telah dikupas/ dipanggang.
Pemerian: lemak padat, putih kekuningan, bau khas aromatic, rasa khas lemak agak rapuh.
Kelarutan: sukar larut dalam etanol (95 %)P, mudah larut dalam kloroform P, dalam eter P dan dalam eter minyak tanah P.
Suhu lebur: 310 – 340 C.
Khasiat: zat tambahan.
2.13  Alasan Pemilihan Bahan

a.    Amynophyllinum
Sebagai bahan aktif yang berkhasiat untuk mengobati asma, zat aktif ini dibuat dalam bentuk suppositoria karena untuk asma membutuhkan penanganan yang cepat. Efek terapi yang diberikan jika sediaan dalam bentuk suppositoria lebih cepat daripada dalam bentuk oral. Sediaan dalam bentuk oral, kerja obatnya harus melalui absorbsi terlebih dahulu, sedangkan sediaan suppositoria tidak melalui absorbsi sehingga efek terapi yang diberikan akan lebih cepat.
b.   Oleum Cacao
Oleum Cacao berdaya guna dalam melepaskan zat aktif daripada yang lain, karena  mempunyai titik lebur pada suhu 31°-34°. Dibuat dalam bentuk suppositoria ditujukan untuk melebur pada suhu tubuh, karena oleum cacao digunakan sebagai bahan dasar suppo yang ketambahan zat aktif, jadi titik leburnya akan menjadi 35°-37°. Obat yang larut dalam air yang dicampur dengan oleum cacao, pada umumnya memberi hasil pelepasan yang baik. (Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi: 581). Pada bahan tambahan oleum cacao ini dilebihkan 10% pada basisnya, sebab basis saat dileburkan selain melebur juga menguap, sehingga berkurang. Selain itu saat di dinginkan basis akan menyusut dan berkurang oleh karena itu harus dilebihkan 10% pada basisnya.

c. Bisakodil
Sebagai bahan aktif yang berkhasiat untuk menghilangkan rasa nyeri pada buang air besar. Dibuat dalam bentuk suppositoria karena bentuk sediaan ini akan membantu memberikan efek terapi yang lebih cepat dari pada dalam bentuk oral. Sediaan dalam bentuk oral, kerja obat harus melalui absorbsi terlebih dahulu, sedangkan sediaan suppositoria tidak melalui absorbsi sehingga efek terapi yang diberikan akan lebih cepat.

2.14 Cara pemberian

Pemberian obat dengan sediaan suppositoria dengan memasukkan obat melalui anus atau rektum dalam bentuk suppositoria
Petunjuk pemakaian: cuci tangan sampai bersih, buka pembungkus suppositoria, kemudian tidur dengan posisi miring. Supositoria dimasukkan ke rektum dengan cara bagian ujung supositoria didorong dengan ujung jari,  kira-kira ½-1 inci pada bayi dan 1 inci pada dewasa, bila perlu ujung supositoria di beri air untuk mempermudah penggunaan. Untuk nyeri dan demam satu supositoria diberikan setiap 4–6 jam jika diperlukan. Gunakan supositoria ini 15 menit setelah buang air besar atau tahan pengeluaran air besar selama 30 menit setelah pemakaian supositoria.
Hanya untuk pemakaian rektal. Hentikan penggunaan dan hubungi dokter jika sakit berlanjut hingga 3 hari. Jauhkan dari jangkauan anak-anak. Jika tertelan atau terjadi over dosis segera hubungi dokter (Monson, 200
                      BAB III
METODOLOGI KERJA


3.1  Formulasi Resep

Ø  Resep 1 (FORNAS, 21) à Obat Asma

R/  Aminophylinum    250 mg
     Ol. Cacao               qs
       m.f supp dtd No.             II
         S 2 dd 1 supp
Ø Resep 2 (FORNAS, 51) à Obat untuk Sembelit
R/ Bisacodil                    5 mg
                Oleum Cacao             qs
                m.f supp dtd No. II
                S 1 dd 1 supp
               (malam hari sebelum tidur, (ISO; 484-DULCOLAX))


3.2  Perhitungan Bahan

a.       Aminophyllinum
Nilai tukar : 0,86
Amino yang diperlukan                      = 2 x 0,25 g = 0,5 g
Berat suppo                                         = 2 x 2 g = 4 g
Nilai tukar                                           =  0,5 g x 0,86 = 0,43 g
lemak yg dibutuhkan (ol. Cacao)        = 4 g – 0,43g = 3.57 g
Tambahan lemak (ol.cacao)10%         = 10/100 x 3.57 g = 0.357 g
Jadi, tambahan lemak (ol.cacao)         = 3.57 g + 0.357 g = 3.927  g


b.      Bisacodil                                      = 10 mg x 2     = 20 mg = 0,02 g
      Nilai tukar                                     = 0,7 x 0,02 g  = 0,014 g
      Bisacodil yg diperlukan                = 0,014 g = 14 mg
·      Pengenceran bisacodil            
Missal penambahan 300 mg SL = 84 mg
Bisacodil = 50 mg
SL            = 250 mg
Jadi sisa pengenceran = 300 mg – 84 mg = 216 mg

·      Karena bisacodil yg diperlukan 14 mg,
Maka 84 mg – 14 mg = 70 mg
·      Berat suppo = 2 g x 2 = 4 g
·      Lemak yg dibutuhkan = 4 g – 0,014 g = 3,986 g
·      Tambahan lemak (10%) =  x 3,986 g = 0,3986 g
·      Jadi tambahan lemak menjadi = 3,986 + 0,3986 = 4,3846 g

3.3  Alat & Bahan
Alat:
1.      Timbangan, anak timbangan, penara
2.      Perkamen
3.      Cawan porselen
4.      Sendok tanduk
5.      Sudip
6.      Batang pengaduk
7.      Mortir
8.      Stamper
9.      Serbet
10.   Pencetak supositoria
Bahan:
1.      Aminofillin
2.      Oleum cacao
3.      Bisakodil
4.      Alumunium foil
5.      Saccharum Lactis



      3.4  Prosedur Kerja

Resep 1.
      
a.       Disiapkan alat dan bahan.
b.      Disetarakan timbangan.
c.       Ditimbang aminofillin 430 mg.
d.      Ditimbang ol cacao 3.927g.
e.       Dioleskan paraffin dalam cetakan supositoria.
f.       Dilebur  oleum cacao hingga berbentuk seperti massa krim, diangkat.
g.      Dimasukkan aminofillin ke dalam hasil leburan, diaduk ad homogen.
h.      Dituang ke dalam cetakan supositoria.
i.        Dibiarkan dingin dahulu, kemudian dimasukkan kulkas agar memadat (membeku).
j.        Disiapkan alumunium foil sebagai kemasan.
k.      Dilepas supositoria dari cetakan, dibungkus dengan alumunium foil.
l.        Dimasukkan plastik dan diberi etiket biru.


Resep 2  (Bisakodil)
1.        Disiapkan alat dan bahan.
2.        Dibersihkan alat.
3.        Disetarakan timbangan.
4.        Ditimbang Bisakodil dengan pengenceran 50 mg di timbangan halus, ditimbang SL 250 mg. Lalu dimasukkan kedalam mortir, digerus sampai halus lalu disisihkan.
5.        Ditimbang ol.cacao 4,3846 g dengan cawan porselen di timbangan kasar, lalu dileburkan diatas penangas. Setelah melebur, diangkat.
6.        Dimasukkan bisakodil kedalam cawan porselen yang berisi leburan ol.cacao, diaduk rata.
7.        Disiapkan cetakan suppo lalu diolesi paraffin dengan kuas.
8.        Dituang sediaan dalam cetakan yang sudah siap.
9.        Ditunggu sampai sedikit dingin kemudian dimasukkan kedalam kulkas.
10.    Disiapkan alumunium foil sebagai pembungkus supositoria, setelah mengeras dikeluakan supositoria dari cetakan lalu dibungkus dengan alumunium foil.
11.    Dimasukkan kedalam plastic klip kedan beri etiket biru.   

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil
Uji Homogenitas
1.    Diambil tiga 3 titik bagian suppo (atas-tengah-bawah atau kanan-tengah-kiri).
2.    Masing-masing bagian diletakkan pada kaca objek kemudian diamati dibawah mikroskop.
3.    Cara selanjutnya dengan menguji kadarnya dapat dilakukan dengan cara titrasi.
Uji Keseragaman Bentuk dan Ukuran
1.    Diambil suppositoria yang sudah di buat.
2.    Diamati satu dengan yang lainnya bentuk dan ukurannya sesuai standar supo (berbentuk torpedo).
Uji Waktu Hancur
1.    Supo dimasukkan dalam air yang di set sama dengan suhu tubuh manusia, selama 3 menit.
Uji Keseragaman Bobot
1.    Timbang suppo satu persatu dan hitung rata-ratanya.
2.    Hitung persen kelebihan masing-masing suppo terhadap bobot rata-ratanya. Keseragaman/ variasi bobot yang didapat tidak boleh lebih dari ± 5%  (Anonim b, 1995).
Uji Kerapuhan
1.    Supositoria dipotong horizontal. Kemudian ditandai kedua titik pengukuran melalui bagian yang melebar, dengan jarak tidak kurang dari 50% dari lebar bahan yang datar.
2.    Kemudian diberi beban seberat 20N (lebih kurang 2kg) dengan cara menggerakkan jari atau batang yang dimasukkan ke dalam tabung.

4.2 Pembahasan
            Dalam praktikum ini, dibuat sediaan suppositoria. Dimana pada pembuatan ini, ada dua resep yang dibuat. Pembuatan resep pertama, yang dilakukan adalah menimbang bahan. Setelah itu dioleskan paraffin dalam cetakan suppo, dilebur oleum cacao hingga berbentuk seperti massa krim. Masukkan aminophyllin kedalam hasil leburan, aduk ad homogen. Dituang dalam cetakan suppo, dibiarkan dingin dahulu, kemudian dimasukkan kedalam kulkas agar memadat. Dilepaskan suppo dalam cetakan, bungkus dengan alumunium foil yang sudah disiapkan, masukkan kedalam plastik dan diberi etiket.
            Pembuatan resep kedua, yang pertama dilakukan menimbang semua bahan. Oleum cacao dileburkan diatas penangas, diangkat. Kemudian bisakodil dimasukkan ke dalam cawan porselen yang berisi oleum cacao, diaduk merata. Dituang sediaan kedalam cetakan suppo yang sudah diolesi dengan paraffin. Dimasukkan kedalam kulkas agar memadat, kemudian tunggu beberapa saat. Keluarkan suppo dari cetakan, kemudian bungkus dengan alumunium foil, masukkan kedalam plastik, diberi etiket. Kedua sediaan suppo yang dibuat memenuhi syarat, karena pada cara pembuatan sudah benar dan tepat sehingga sediaan menjadi bagus dan tidak rusak.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar