Ø
FORMUA
ASLI
Suppositoria
Analgetik-Antipiretik
A.
RANCANGAN
FORMULA
Tiap 3 g
mengandung
Aspirin
21,66 %
Cera
Flava
5 %
tokoferol
0,05 %
Ol.
Cacao
76,17 %
B.
MASTER
FORMULA
Nama
Produk
: SUPAS Suppositoria
Nama
Pabrik
: PT. PRABE
Tanggal
Formulasi : 06 Februari 2015
Tanggal
Produksi : 09 Februari 2015
No.
Reg
: DKL 1500100353 A1
No.
Batch
: B 001003
Jumlah
Produk
: 2
TABEL
MASTER FORMULA
Diproduksi
oleh :
PT.
PRABE
|
Tanggal
Produksi
09
Februari 2015
|
Disetujui
oleh Tim Asisten
|
No.Reg
: DKL 1500100353 A1
No.
Batch : B 001003
|
|
Kode
Bahan
|
Nama Bahan
|
Kegunaan
|
Dosis
|
Batch
|
001-AS
002-CF
003-
T
004-OC
|
Aspirin
Cera Flava
tokoferol
Ol. Cacao
|
Zat Aktif
Pengeras
Antioksidan
Basis
|
21,66 %
5 %
0,05 %
76,17 %
|
1,3 g
0,3 g
0,003 g
4,57 g
|
C.
STUDI
PREFORMULASI
a.
Uraian
sifat fisika-kimia
-
Alasan
Pemilihan zat aktif
Asam salisilat
sangat iritatif, sehingga hanya digunakan sebagai obat luar.
Derivatnya yang dapat dipakai secara sistemik adalah ester salisilat
dari asam organik dengan substitusi pada gugus hidroksil misalnya
asetosal. Sehingga zat aktif yang digunakan yaitu Asetosal.
(Farmakologi terapi : 234)
Aksi sistemik sering
digunakan sebagai tempat absorpsi. Obat yang digunakan melalui rektum
dalam bentuk suppositoria untuk mendapatkan efek sistemiknya terdiri
dari aspirin untuk aktivitas analgetik dan antipiretik. (Ansel: 578)
Adapun alasan
pemilihan konsentrasi zat aktif yaitu aspirin dapat diberikan secara
rektal dengan supositoria. Diulang setiap 4 sampai 6 jam sesuai
dengan kebutuhan klinis, untuk maksimal 4 g sehari. Dosis sebagai
supositoria adalah 450-900 mg setiap 4 jam sampai maksimal 3,6 g
sehari (Martindale 36: 23 ) dan suppositoria rektum zat aktif aspirin
dalam satu suppositoria 65, 130, 162, 195, 325, 650, 975 mg dan 1,3
g. Sehingga zat aktif yang digunakan yaitu 650 mg sesuai dengan dosis
suppositoria menurut mantindal.(Ansel : 593)
-
Alasan
pemilihan basis Oleum Cacao
Faktor fisika kimia
dari obat dan basis suppositoria mencakum mengenai sifat-sifatnya
seperti kelarutan relatif obat lemak dan air serta ukuran partikel
dari obat yang menyebar. Faktor fisika kimia basis melengkapi
kemampuannya melebur, melunak, atau melarut pada suhu tubuh, pada
ukuran partikel untuk obat dalam suppositoria yang tidak larut maka
ukuran partikelnya akan mempengaruhi jumlah obat yang dilepaskan dan
melarut untuk absorpsi. Penelitian saat ini menuntukkan bahwa aspirin
yang dibuat dalam basis oleum cacao, melarut dalam sirkulasi rektum
lebih cepat dan diaabsorpsi serta diekskresi lebih cepat bila dalam
ukuran partikel kecil. Basis ini juga merupakan basis yang akan
mudah melepas zat aktif kedalam cairan mukosa. Dimana oleum cacao
yang melebur pada suhu 30 – 36
(Ansel
: 580)
-
Alasan
penambahan tokofero
Alpa tokoferol
diakui sebagai sumber vitamin E. Alpha-tokoferol adalah senyawa yang
sangat lipofilik, dan meruaka pelarut yang sangat baik untuk banyak
obat yang sukar larut. Alpha-tokoferol merupkan prduk farmasi
berbasis lemak dan biasanya digunakan konsentrasi berkisar 0,001-0,05
% v/v. Sehingga digunakan 0,05 % karena dilihat dari efek
sistemik yang dgunakan (Exp : 31)
-
Alasan
penambahan Cera flava
Apabila
dipaaskan pada suhu tinggi, lemak coklat akan mencair seperti minyak,
tetapi akan kehilangan inti konstannya yang berguna untuk memadat,
lemak coklat akan mengkristal dalm bentuk kristal menstabil seperti
minyak. Jika didinginkan dibawah suhu 15 untuk
menaikkan titik lelehnya kedalam lemak coklat dapatditambahkan cera
flava atau cetasium. Penambahan cea flava dapat menambahnkan daya
serap lemak coklat terhadap lemak air coklat cepat membeku saat
pengisian massa suppositoria kedalam cetakan suppo dan menyusutkan
pada saat penddinginan sehingga terbentuk pendinginan sehingga
terbentuk lubang di atas massa akan ditambahkan cera flava dengan
konsentrasi 5 % agar tidak menjadi lemak. Penambahan cera flava tidak
boleh lebih dari 6 % karena akan menghasilkan campuran yang memiliki
titik lebur diatas 37 dan
apabila diatas 4 % akan menghasilkan titik lebur dibawah 33
Uraian Bahan
Ø
Aspirin
(FI Ed III : 43)
Nama
Resmi
: ACIDUM ACETYLSALICYLICUM
Nama
Lain
: Asam asetilsalisilat, asetosal, aspirin
Rumus Molekul
: C9H8O4
Berat
Molekul :
180,16
Pemerian
: Hablur tidak berwarna atau serbuk hablur putih, tida berbau atau
hampr tidak berbau, rasa asam.
Kelarutan
: Agak sukar larut dalam air, mudah larut dalam etanol (95 %) P,
larut dalam kloroform P dan dalam eter P.
Inkampabilitas
: Dapat membentuk basa untuk massa pucat ketika triturated dengan
asetanilida, acetophenetidin, antipyrine, aminopyrine, methenamine,
fenolatausalol, serbuk yang mengandung aspirin dengan garam
alkali.seperti natrium bikarbonat dapat menjadi gummi pada kontak
dengan kelembapan atmosfir karena solusi parsial dan idrlisis
selanjutnya aspirin. Hidrolisis juga terjadi dalam campuran dengan
garam yang mengandung air kristal. Larutan alkali asetat dan sitrat,
serta alkali sendiri, melarutkan obat ini tetapi solusi yang
dihaslkan menghidrolisis cepat membentuk garam asam asetat dan
salisislat. Gula dan gliserin telah terbukti menghambat komposisi.
Sangan lambat membebaskan kalium asam hidriodic atau natrium iodida.
Oksidasi selanjutnya oleh udara menghasilkan iodium bebas.
Stabilitas
: -
Penyimpanan
: Dalam wadah tertutup baik
Dosis
: Sekali 1 gram sehari 8 gram
Khasiat
: Analgetikum, Antipiretikum
Ø
tokoferol
(Exp : 31)
Nama Resmi
:
TOCOPHEROLUM
Nama Lain
:
Tokoferol, vitamin E
Rumus
Molekul :
C29H50O2
Berat Molekul
:
430,72
Pemerian
: Alpha tokoferol merupakan produk alami. Tidak berwarna atau
kuning-coklat, kental, cairan berminyak.
Kelarutan
: Agak sukar larut dalam air, mudah larut dalam etanol (95 %) P,
larut dalam kloroform P dan dalam eter P.
Inkampabilitas
: Tokoferol tidak kompatibel dengan peroksida dan ion logam, terutama
besi, tembaga, dan perak. Tokoferol dapat diserap kedalam plastik.
Stabilitas
: Tokoferol teroksdasi perlahan oleh oksgen atmosfer dan cepat dengan
garam besi dan perak. Produk oksidasi meliputi tocopheroxide,
tocopherylquinone, dan tocopherylhydroquinone, serta dimer dan
trimer. Tokofroll ester yang lebih stabil untuk oksidasi dari
tokoferol gratis tetapi sebagai akibat kurang antioksidan yang
efektif.
Penyimpanan
: harus disimpan dalam gas inert, dalam kedap udara wadah di tempat
yang sejuk dan kering terlindung dari cahaya
Dosis
:
0,001 % - 0,05 %
Khasiat
:
Antioksidan
Ø
Oleum
cacao (FI Edisi III : 453)
Nama Resmi
:
OLEUM CACAO
Nama Lain
:
Lemak coklat
Pemerian
: lemak padat, putih kekuninga, bau khas aromatik, rasa khas lemak,
agak rapuh.
Kelarutan
:Sukar larut dalam etanol (95%), mudah larut dalam kloroform p, dalam
eter p dan dalam eter minyak tanah p.
Penyimpanan
:
Dalam wadah tertutup baik
Khasiat
:
Analgetikum, Antipiretikum
Ø
Cera
flava (FI Ed III : 140)
Nama Resmi
:
CERA FLAVA
Nama Lain
:
Malam kuning
Rumus
Molekul :
C11H12C12N2O5
Berat Molekul
:
680,8
Pemerian
:Zat padatt, coklat kekuningan, bau enak seerti madu, agak rapuh jika
dingin, menjadi elastik jika hangat dan bekas patahan buram dan
berbutir-butir.
Kelarutan
: Praktis tidak larut dalam air, sukar larut dalam etanol (95%),
larut dalam kloroform p, dalam eter p hangat, dalam minyak lemak dan
dalam minyak atsiri.
Inkampabilitas
:
tidak kompatibel dengan oksidator.
Stabilitas
:Ketika lilin yang dipanaskan diatas 1508 esterifikasi
terjasi dengan akibat penurunan nilai asam dan elefasi titik lebur.
Lilin kuning stail bila disiman dalam wadah tertutup atau terlindung
dari cahaya
Penyimpanan
:
Dalam wadah tertutup baik
Khasiat
: Zat tambahan (pengeras suppositoria).
b.
Uraian
farmakologi
-
Aspirin
(Martindale 36 Hal 20-25)
1.
Indikasi
Antipiretik,
Dosis
salisilat untuk dewasa ialah 325 mg-650 mg, diberikan secara oral
tiap 3 atau 4 jam. Untuk anak 15-20 mg/kgBB, diberikan tiap 4-6 jam.
Berdasarkan asosiasi penggunaan aspirin dengan Sindroma Reye, aspirin
dikonsentrasikan sebagai antipiretik pada anak di bawah 12 tahun.
Analgesik,
salisilat
bermanfaat untuk mengobati nyeri tidak spesifik misalnya sakit
kepala, nyeri sendi, nyeri haid, neuralgia dan mialgia. Dosis sama
seperti pada penggunaan untuk antipiretik.
2.
Dosis
Aspirin dapat
diberikan secara rektal dengan supositoria. Dosis lisan biasa aspirin
sebagai analgesik dan antipiretik adalah 300-900 mg, diulang setiap 4
sampai 6 jam sesuai dengan kebutuhan klinis, untuk maksimal 4 g
sehari. Dosis sebagai supositoria adalah 450-900 mg setiap 4 jam
sampai maksimal 3,6 g sehari. (Martindale : 23)
3.
Mekanisme
kerja
Aspirin adalah asam
organik lemah yang unik diantara OAINS, yaitu aspirin mengasetilasi
secara ireversibel (sehingga menginaktifkan) siklooginase. OAINS
lainnya, termasuk salisilat, merupakan penghambat siklooksigenase
reversibel. Aspirin di-deasetilasi secara cepat oleh esterase dalam
tubuh yang menghasilkan salisilat, yang berefek ati inflamasi,
antipireti, dan analgesik. Efek antipiretik dan antiinflamasi
salisilat terutama dihasilkan karena penghambatan sintesis
prostaglandin termoreguasi pada hipotalamus dan lokasi target perifer
lebih lanjut, dengan menurunkan sintesis prostaglandin, salisilat
juga mencegah sensitisasi reseptor nyeri terhadap rangsangan mekanis
dan kimia. Aspirin juga dapat menekan rangsangan nyeri pada area
subkorteks (talamus dan hipotalamus).
Kerja analgesik
: Prostaglandin E2
(PEG2)
diduga menyebabkan sensitisasi ujung saraf terhadap kerja bradikin,
histamin, dan mediator kimiawi lainnya yang dilepaskan secara lokal
oleh proses inflamasi. Oleh sebab itu, dengan menurunkan sistensis
PEG2,
aspirin
dan OAINS lainnya menekan sensasi nyeri. Salisilat digunakan terutama
untuk penataalksanaan nyeri dengan intensitas rendah hingga sedang
yang berasal dari gangguan muskuloskeleton dan bukan yang berasal
dari viseral. Kombinasi opioid dan OAINS efektif dalam penekanaan
nyeri yang disebabkan oleh keganasan. Diflunisal bersifat tiga hingga
empat kali lipat lebih kuat dari pada aspirin sebagai analgesik dan
agen antiinflamasi, tetapi obat tersebut tidak memiliki antipiretik.
Kerja antipiretik
: demam terjadi bila
titik pengaturan pusat, termoregulasi dalam hipotalamus anterior
meningkat. Hal ini dapat disebabkan oleh sintesis PEG2,
yang
dirangsang ketika suatu agen penghasil demam endogen (pirogen),
seperti sitokin, dilepaskan dari sel darah putih diaktifkan oleh
infeksi, hipersensitivitas, keganasan, atau inflamasi. Salisilat
menurunkan suhu tubuh pada pasien demam melalui peggangguan sintesis
dan pelepasan PEG2.
Aspirin
mengatur ulag termostat menjadi normal dan menurunkan secara cepat
suhu tubuh pasien demam dengan meninggkatkan penghilangan panas
sebagai akibat dari vasodilatasi perifer dan berkeringat. Aspirin
tidak memiliki efek terhadap suhu tubuh normal. Diflunisol tidak
menurunkan demam karena tidak melewati sawar darah otak. (Farmakologi
ulasan bergambar ed 4 : 598-599)
4.
Farmakokinetik
Aspirin dan
salisilat lainnya diserap cepat dari saluran pencernaan bila diambil
secara lisan, dan penyerapan setelah dosis dubur dapat diandalkan.
Aspirin dan lainnya salisilat juga dapat diserap melalui kulit.
Setelah dosis oral, penyerapan aspirin non-terionisasi terjadi dalam
lambung dan usus. Beberapa aspirin dihidrolisis menjadi salisilat
dalam dinding usus. (Martindale 36 : 23)
5.
Farmakodinamik
Salisilat, khususnya
asetosal merupakan obat yang banyak digunakan sebagai analgesik,
antipiretik dan anti-inflamasi. Aspirin dosis terapi bekerja cepat
dari efektif sebagai antipiretik. Dosis toksik obat ini justru
memperlihatkan efek piretik sehingga pada keracunan berat ddemam dan
hiperhidrosis. Untuk memperoleh efek anti-inflamasi yang baik kadar
plasma perlu dierhatikan antara 250-300 L.
Kadar ini tercapai dengan dosis aspirin oral 4 gram per hari untuk
orang dewasa. (Farmakologi dan Terapi Ed 5 : 234)
6.
Aturan
pakai
4
x sehari tiap 6 jam. Dimasukkan kedalam rektum. (Martindale : 23)
7.
Cara
penggunaan
Aspirin dan
salisilat lainnya memiliki analgesik, anti-inflamasi, dan sifat
antipiretik; mereka bertindak sebagai inhibitor enzim
siklooksigenase, yang menghasilkan langsung penghambatan biosintesis
prostaglandin dan tromboksan dari asam arakidonat. Dan dapat
diberikan secara rektal dengan suppositoria. (Martindale : 23)
8.
Perhatian
Suppositoria
berbasis oleum cacao harus disimpan pada suhu dibawah 30 dan
lebih baik di simpan dalam lemari es. (Ansel:592)
9.
Interaksi
Beberapa efek
aspirin pada gastrointestinal saluran yang ditingkatkan oleh alkohol.
Penggunaan senyawa emas dengan aspirin dapat memperburuk kerusakan
hati yang diinduksi aspirin. (Martindal : 23)
c.
Dasar
pemilihan bentuk sediaan
Umumnya suppositoria
rektum panjangnya 32
mm (1,5 inci), berbentuk silider kedua ujungnya tajam. Beberapa
suppositoria untuk rektum diantaranya ada yang berbentuk seperti
peluru, terpedo, atau jari-jari kecil, tergantuk kepada bobot jenis
bahan obat dan basis yang digunakan, beratnyapn berbeda-beda. (Ansel
: 576)
d.
Dasar
pemilihan wadah
Suppositoria yang
diolah dengan basis oleum caccao biasanya dibungkus terpisah-pisah
atau dipisahkan satu sama lainnya pada celah-celah dalam kotak untuk
mencegah terjadinya hubungan antar supppositoria tersebut dan
mencegah perekatan, sebenarnya kebanyakn suppositoria yang terdapt
dipasaran terbungkus dengan aluminium voil atau bahan lastik satu
persatu. Beberapa diantaranya dikemas dalam strip kontinyu berisi
suppositoria yang dipisahkan dengan merobek lubang-lubang yang
terdapat diantara suppositoria tersebut. Suppositoria ini dikemas
dalam kotak dorong atau dalam kotak plastik. (Ansel : 592)
D.
Perhitungan
Ø
Perhitungan
Bahan
Aspirin
= x
3 = 0,65 g
= 0,65 g x 2
= 1,3 g
Cera flava
= x
3 = 0,15 g
= 0,15 g x 2
= 0,3 g
- tokoferol
= x
3 = 0,0015 g
= 0,0015 g x 2
= 0,003 g
Oleum Cacao =
Ø
Perhitungan
nilai tukar
Aspirin
= 0,65 g x 2 = 1,3 g
Berat
Suppositoria = 3 x 2
= 6 g
Oleum cacao yang
ditambahkan sebanyak
= 1,3 g x 1,1 = 1,43
= 6 g – 1,43
= 4,57 ( dalam dua suppo)
= 4,57 / 2
= 2,285 g (satu suppo)
E.
Metode
kerja
1.
Disiapkan
alat dan bahan
2.
Ditimbang
Cera flava 0,3 g
3.
Ditimbang
oleum cacao diatas cawan porselin 4,57 g
4.
Dimasukkan
cera flava bersama oleum cacao lalau dilebur
5.
Ditimbang
aspirin 1,3 g, masukkan bersama bahan lainnya hingga homogen, biarkan
hingga agak dingin.
6.
Ditimbang
alfa tokoferor 0,003 g dicampur dengan bahan lan hingga homogen
7.
Dicetak
dalam ccetakan suppo
8.
Dimasukkan
dalam wadah
9.
Masukkan
dalam kulkasSuppositoria adalah sediaan padat yang digunakan melalui
dubur, berbentuk torpedo, dapat melunak, melarut atau meleleh pada
suhu tubuh. (Moh. Anief. 1997)
Suppositoria
adalah sediaan padat dalam berbagai bobot dan bentuk, yang diberikan
melalui rectal, vagina atau uretra. (Farmakope Indonesia Edisi IV)
Suppositoria
adalah sediaan padat yang digunakan melalui dubur, umumnya berbentuk
torpedo, dapat melarut, melunak atau meleleh pada suhu tubuh. (
Farmakope Indonesia Edisi III)
Suppositoria
adalah sediaan padat, melunak, melumer dan larut pada suhu tubuh,
digunakan dengan cara menyisipkan ke dalam rectum, berbentuk sesuai
dengan maksud penggunaannya, umumnya berbentuk torpedo. (Formularium
Nasional)
Jadi,
suppositoria dapat didefinisikan sebagai suatu sediaan padat yang
berbentuk torpedo yang biasanya digunakan melalui rectum dan dapat
juga melalui lubang di area tubuh, sediaan ini ditujukan pada pasien
yang mudah muntah, tidak sadar atau butuh penanganan cepat.
2.2
Macam-macam Suppositoria
a.
Suppositoria untuk rectum (rectal)
Suppositoria
untuk rektum umumnya dimasukkan dengan jari tangan. Biasanya
suppositoria rektum panjangnya ± 32 mm (1,5 inchi), dan berbentuk
silinder dan kedua ujungnya tajam. Bentuk suppositoria rektum antara
lain bentuk peluru, torpedo atau jari-jari kecil, tergantung kepada
bobot jenis bahan obat dan basis yang digunakan. Beratnya menurut USP
sebesar 2 g untuk yang menggunakan basis oleum cacao (Ansel, 2005).
b.
Suppositoria untuk vagina (vaginal)
Suppositoria
untuk vagina disebut juga pessarium biasanya berbentuk bola lonjong
atau seperti kerucut, sesuai kompendik resmi beratnya 5 g, apabila
basisnya oleum cacao.
c.
Suppositoria untuk saluran urin (uretra)
Suppositoria
untuk untuk saluran urin juuga disebut bougie, bentuknya rampiung
seperti pensil, gunanya untuk dimasukkan kesaluran urin pria atau
wanita. Suppositoria saluran urin pria bergaris tengah 3-6 mm dengan
panjang ± 140 mm, walaupun ukuran ini masih
bervariasi
satu dengan yang lainnya. Apabila basisnya dari oleum cacao beratnya
± 4 g. Suppositoria
untuk saluran urin wanita panjang dan beratnya ½ dari ukuran untuk
pria, panjang ±
70 mm dan beratnya 2 g, inipun bila oleum cacao sebagai basisnya.
d.
Suppositoia untuk hidung dan telinga
Suppositoia
untuk hidung dan telinga yang disebut juga kerucut telinga, keduanya
berbentuk sama dengan suppositoria saluran urin hanya ukuran
panjangnya lebih kecil, biasanya 32 mm. Suppositoria telinga umumnya
diolah dengan suatu basis gelatin yang mengandung gliserin. Seperti
dinyatakan sebelumnya, suppositoria untuk obat hidung dan telinga
sekarang jarang digunakan.
2.3
Tujuan Penggunaan Supositoria
1.
Untuk tujuan lokal, seperti pada pengobatan wasir atau hemoroid dan
penyakit infeksi lainnya. Suppositoria juga dapat digunakan untuk
tujuan sistemik karena dapat diserap oleh membrane mukosa dalam
rectum. Hal ini dilakukan terutama bila penggunaan obat per oral
tidak memungkinkan seperti pada pasien yang mudah muntah atau
pingsan.
2.
Untuk memperoleh kerja awal yang lebih cepat. Kerja awal akan lebih
cepat karena obat diserap oleh mukosa rektal dan langsung masuk ke
dalam sirkulasi pembuluh darah.
3.
Untuk menghindari perusakan obat oleh enzim di dalam saluran
gastrointestinal dan perubahan obat secara biokimia di dalam hati
(Syamsuni, 2005).
2.4
Keuntungan dan Kerugian Supositoria
2.4.1
Keuntungan Supositoria:
a.
Dapat menghindari terjadinya iritasi pada lambung.
b.
Dapat menghindari keruskan obat oleh enzim pencernaan dan asam
lambung.
c.
Obat dapat masuk langsung kedalam saluran darah sehingga obat dapat
berefek lebih
cepat daripada
penggunaan obat peroral.
d.
Baik bagi pasien yang mudah muntah atau tidak sadar.
2.4.2
Kerugian Supositoria:
a.
Pemakaiannya tidak menyenangkan.
b.
Tidak dapat disimpan pada suhu ruang.
2.4.3
Persyaratan Supositoria
Sediaan
supositoria memiliki persyaratan sebagai berikut:
1.
Supositoria sebaiknya melebur dalam beberapa menit pada suhu tubuh
atau melarut
(persyaratan kerja
obat).
2.
Pembebasan dan responsi obat yang baik.
3.
Daya tahan dan daya penyimpanan yang baik (tanpa ketengikan,
pewarnaan,
penegerasan,
kemantapan bentuk, daya patah yang baik, dan stabilitas yang memadai
dari
bahan obat).
4.
Daya serap terhadap cairan lipofil dan hidrofil.
2.5
Basis
supositoria
Sediaan
supositoria ketika dimasukkan dalam lubang tubuh akan melebur,
melarut dan terdispersi. Dalam hal ini, basis supositoria memainkan
peranan penting. Maka dari itu basis supositoria harus memenuhi
syarat utama, yaitu basis harus selalu padat dalam suhu ruangan dan
akan melebur maupun melunak dengan mudah pada suhu tubuh sehingga zat
aktif atau obat yang dikandungnya dapat melarut dan didispersikan
merata kemudian menghasilkan efek terapi lokal maupun sistemik. Basis
supositoria yang ideal juga harus mempunyai beberapa sifat seperti
berikut:
1.
Tidak beracun dan tidak menimbulkan iritasi.
2.
Dapat bercampur dengan bermacam-macam obat.
3.
Stabil dalam penyimpanan, tidak menunjukkan perubahan warna dan bau
serta pemisahan obat.
4.
Kadar air mencukupi.
5.
Untuk basis lemak, maka bilangan asam, bilangan iodium dan bilangan
penyabunan harus diketahui jelas.
2.5.1
Persayaratan
Basis
Suppositoria
1.
Secara fisiologi netral (tidak menimbulkan rangsangan pada usus, hal
ini dapat disebabkan oleh massa yang tidak fisiologis ataupun tengik,
terlalu keras, juga oleh kasarnya bahan obat yang diracik).
2.
Secara kimia netral (tidak tersatukan dengan bahan obat).
3.
Tanpa alotropisme (modifikasi yang tidak stabil).
4.
Interval yang rendah antara titik lebur dan titik beku (pembekuan
dapat berlangsung cepat dalam cetakan, kontraksibilitas baik,
mencegah pendinginan mendaak dalam cetakan).
5.
Interval yang rendah antara titik lebur mengalir denagn titik lebur
jernih (ini dikarenakan untuk kemantapan bentuk dan daya
penyimpanan, khususnya pada suhu tinggi sehingga tetap stabil).
2.5.2
Macam-macam Basis Suppositoria
1.
Basis berlemak, contohnya: oleum cacao.
2.
Basis lain, pembentuk emulsi dalam minyak:
campuran
tween dengan gliserin laurat.
3.
Basis yang bercampur atau larut dalam air, contohnya:
gliserin-gelatin, PEG (polietien glikol).
2.5.3
Bahan Dasar Supositoria
1.
Bahan dasar berlemak: oleum cacao
Lemak coklat
merupakan trigliserida berwarna kekuninagan, memiliki bau yang khas
dan bersifat polimorf (mempunyai banyak bentuk krital). Jika
dipanaskan pada suhu sektiras 30°C akan mulai mencair dan biasanya
meleleh sekitar 34°-35°C, sedangkan dibawah 30°C berupa massa
semipadat. Jika suhu pemanasannya tinggi, lemak coklat akan mencair
sempurna seperti minyak dan akan kehilangan semua inti kristal
menstabil.
Ø
Keuntungan
oleum cacao:
a.
Dapat melebur pada suhu tubuh.
b.
Dapat memadat pada suhu kamar.
Ø
Kerugian
oleum cacao:
a.
Tidak dapat bercampur dengan cairan sekresi (cairan pengeluaran).
b.
Titik leburnya tidak menentu, kadang naik dan kadang turun apabila
ditambahkan dengan bahan tertentu.
c.
Meleleh pada udara yang panas.
2.
PEG (Polietilenglikol)
PEG merupakan
etilenglikol terpolimerisasi dengan bobot molekul antara 300-6000.
Dipasaran terdapat PEG 400 (carbowax 400). PEG 1000 (carbowax 1000),
PEG 1500 (carbowax 1500), PEG 4000 (carbowax 4000), dan PEG 6000
(carbowax 6000). PEG di bawah 1000 berbentuk cair, sedangkan di atas
1000 berbentuk padat lunak seperti malam. Formula PEG yang dipakai
sebagai berikut:
1.
Bahan dasar tidak berair: PEG 4000 4% (25%) dan PEG 1000 96% (75%).
2.
Bahan dasar berair: PEG 1540 30%, PEG 6000 50% dan aqua+obat 20%.
Titik
lebur PEG antara 35°-63°C, tidak meleleh pada suhu tubuh tetapi
larut dalam cairan
sekresi
tubuh.
Ø
Keuntungan
menggunakan PEG sebagai basis supositoria, antara lain:
1.
Tidak mengiritasi atau merangsang.
2.
Tidak ada kesulitan dengan titik leburnya, jika dibandingkan dengan
oleum cacao.
3.
Tetap kontak dengan lapisan mukosa karena tidak meleleh pada suhu
tubuh.
Ø
Kerugian
jika digunakan sebagai basis supositoria, antara lain:
1.
Menarik cairan dari jaringan tubuh setelah dimasukkan, sehingga
timbul rasa yang
menyengat.
Hal ini dapat diatasi dengan cara mencelupkan supositoria ke dalam
air
dahulu
sebelum digunakan.
2.
Dapat memperpanjang waktu disolusi sehingga menghambat pelepasan
obat.
Pembuatan
supositoria dengan PEG dilakukan dengan melelehkan bahan dasar, lalu
dituangkan ke dalam
cetakan seperti pembuatan supositoria dengan bahan dasar lemak
coklat.
2.6
Faktor-faktor
yang mempengaruhi Absobsi Obat
per Rektal
Rektum
mengandung sedikit cairan dengan PH 7,2 dan kapasitas dapar rendah.
Epitel rektum sifatnya berlipoid (berlemak) maka diutamakan permeabel
terhadap obat yang tidak terionisasi (obat yang mudah larut lemak).
2.7 Nilai
Tukar
Nilai tukar
adalah nilai yang
digunakan untuk mengurangi kadar
zat aktif.
Tujuan
dari pengurangan zat aktif adalah meminimalisir over dosis yang
ditimbulkan. Karena zat aktif yang tertera pada literature merupakan
kadar zat aktif yang digunakan secara oral, maka pada penggunaan
untuk rectal kadar zat aktif harus dikurangi. Hal ini berkaitan
dengan proses farmakokinetik di dalam tubuh. Untuk obat-obat oral
prosesnya melalui ADME sedangkan untuk obat-obat lokal (suppo)
prosesnya tidak melalui ADME melainkan langsung diserap oleh
permukaan mukosa rectal,
kemudian
masuk ke pembuluh darah selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah.
Oleh karena itu, jika zat aktif masih menggunakan dosis oral, maka
dikhawatirkan terjadi over dosis pada pasien.
Pada
pembuatan supositoria menggunakan cetakan, volume supositoria harus
tetap. Tetapi,
bobotnya beragam tergantung pada jumlah dan bobot jenis yang dapat
diabaikan, misalnya ekstrak belladonea dan garam alkaloid.
Nilai
tukar dimaksudkan untuk mengetahui bobot minyak cokelat yang
mempunyai volume yang sama dengan 1g obat. Berikut adalah tabel nilai
tukar:
Nama Obat
|
Nilai tukar
ol cacao per 1g
|
Acidum boricum
|
0.65
|
Garam alkaloid
|
0.7
|
Bismuth subgallas
|
0.37
|
Ichtammolum
|
0.72
|
Tanninum
|
0.68
|
Aethylis
aminobenzoas
|
0.68
|
Aminoplhylinum
|
0.86
|
Bismuth subnitras
|
0.20
|
Sulfonamidum
|
0.60
|
Zinci oxydum
|
0.25
|
Dalam praktik, nilai
tukar beberapa obat adalah 0.7 kecuali untuk garam Bismuth dan Zincy
Oxydum. Untuk larutan nilai tukarnya dianggap satu. Bila supositoria
mengandung obat atau zat padat yang banyak, pengisian pada cetakan
berkurang dan jika dipenuhi dengan campuran massa, akan diperoleh
jumlah obat yang melebihi dosis. Oleh sebab itu, untuk membuat
supositoria yang sesuai dapat dilakukan dengan cara menggunakan
perhitungan nilai tukar.
2.8
Uji Bahan Aktif
1.
Titik lebur
Titik lebur adalah
suhu di mana zat yang kita uji pertama kali melebur atau meleleh
seluruhnya yang ditunjukan pada saat fase padat cepat hilang. Dalam
analisa farmasi titik lebur untuk menetapkan karakteristik senyawa
dan identifikasi adanya pengotor. Untuk uji titik lebur di butuhkan
alat pengukuran titik lebur yaitu, Melting Point Apparatus (MPA) alat
ini digunakan untuk melihat atau mengukur besarnya titik lebur suatu
zat.
2.
Bobot jenis
Bobot jenis adalah
perbandingan bobot jenis udara pada suhu 25
terhadap
bobot air dengan volume dan suhu yang sama. Bobot jenis suatu zat
adalah hasil yang diperoleh dengan membagi bobot jenis dengan bobot
air dalam piknometer. Lalu dinyatakan lain dalam monografi keduanya
ditetapkan pada suhu 25
.
(FI IV hal 1302). Bobot jenis dapat digunakan untuk:


§
Mengetahui
kepekaan suatu zat
§
Mengetahui
kemurniaan suatu zat
§
Mengetahui
jenis zat
Piknometer untuk
menentukan bobot jenis zat padat dan zat cair. Zat padat berbeda
dengan zat cair, zat padat memiliki pori dan rongga sehingga berat
jenis tidak dapat terdefinisi dengan jelas. Berat jenis sejati
merupakan berat jenis yang dihitung tanpa pori atau rongga ruang.
Sedangkan berat jenis nyata merupakan berat jenis yang di hitung
sekaligus degan porinya sehingga
nyata
<
sejati.


2.9
Metode Pembuatan
Pembuatan
supositoria secara umum yaitu bahan dasar supositoria yang digunakan
dipilih agar meleleh pada suhu tubuh atau dapat larut dalam bahan
dasar, jika perlu dipanaskan. Jika obat sukar larut dalam bahan
dasar, harus dibuat serbuk halus. setelah campuran obat dan bahan
dasar meleleh atau mencair, tuangkan ke dalam cetakan supositoria
kemudian didinginkan. Tujuan dibuat serbuk halus untuk membantu
homogenitas zat aktif dengan bahan dasar.
Cetakan
suppositoria terbuat dari besi yang dilapisi nikel atau logam
lainnya, namun ada juga yang terbuat dari plastik.
Cetakan ini mudah
dibuka secara longitudinal untuk mengeluarkan supositoria. Untuk
mengatasi massa yang hilang karena melekat pada cetakan, supositoria
harus dibuat berlebih (±10%), dan sebelum digunakan cetakan harus
dibasahi lebih dahulu dengan parafin cair atau minyak lemak, atau
spiritus sapotanus (Soft
Soap Liniment)
agar sediaan tidak melekat pada cetakan. Namun, spiritus sapotanus
tidak boleh digunakan untuk supositoria yang mengandung garam logam
karena akan bereaksi dengan sabunnya dan sebagai pengganti digunakan
oleum recini dalam etanol. Khusus supositoria dengan bahan dasar PEG
dan Tween bahan pelicin cetakan tidak diperlukan, karena bahan dasar
tersebut dapat mengerut sehingga mudah dilepas dari cetakan pada
proses pendinginan.
Metode
pembuatan supositoria dibagi menjadi 3 yaitu:
a.
Dengan tangan
Yaitu
dengan cara menggulung basis suppositoria yang telah dicampur homogen
dan mengandung zat aktif, menjadi bentuk yang dikehendaki. Mula-mula
basis diiris, kemudian diaduk dengan bahan-bahan aktif dengan
menggunakan mortir dan stamper, sampai diperoleh massa akhir yang
homogen dan mudah dibentuk. Kemudian massa digulung menjadi suatu
batang silinder dengan garis tengah dan panjang yang dikehendaki.
Amilum atau talk dapat mencegah pelekatan pada tangan. Batang
silinder dipotong dan salah satu ujungnya diruncingkan.
b.
Dengan mencetak kompresi
Hal
ini dilakukan dengan mengempa parutan massa dingin menjadi suatu
bentuk yang dikehendaki. Suatu roda tangan berputar menekan suatu
piston pada massa suppositoria yang diisikan dalam silinder, sehingga
massa terdorong kedalam cetakan.
c.
Dengan mencetak tuang
Pertama-tama
bahan basis dilelehkan, sebaiknya diatas penangas air atau penangas
uap untuk menghindari pemanasan setempat yang berlebihan, kemudian
bahan-bahan aktif diemulsikan atau disuspensikan kedalamnya. Akhirnya
massa dituang kedalam cetakan logam yang telah didinginkan, yang
umumnya dilapisi krom atau nikel.
2.10
Pengemasan Supositoria
a.
Supositoria gliserin dan supositoria gelatin gliserin umumnya dikemas
dalam wadah gelas ditutup rapat supaya mencegah perubahan kelembapan
dalam isi supositoria.
b.
Supositoria yang diolah dengan basis oleum cacao biasanya dibungkus
terpisah-pisah atau dipisahkan satu sama lain pada celah-celah dalam
kotak untuk mencegah perekatan.
c.
Supositoria dengan kandungan obat yang sedikit lebih pekat biasnya
dibungkus satu per satu dalam bahan tidak tembus cahaya seperti
lembaran metal (alumunium foil).
2.11Evaluasi
Sediaan
Pengujian
sediaan supositoria yang dilakukan sebagai berikut:
1.
Uji homogenitas
Uji
homogenitas ini bertujuan untuk mengetahui apakah bahan aktif dapat
tercampur rata dengan bahan dasar suppo atau tidak, jika tidak dapat
tercampur maka akan mempengaruhi proses absorbsi dalam tubuh. Obat
yang terlepas akan memberikan terapi yang berbeda. Cara menguji
homogenitas yaitu dengan cara mengambil 3 titik bagian suppo
(atas-tengah-bawah atau kanan-tengah-kiri) masing-masing bagian
diletakkan pada kaca objek kemudian diamati dibawah mikroskop, cara
selanjutnya dengan menguji kadarnya dapat dilakukan dengan cara
titrasi.
2.
Bentuk
Bentuk
suppositoria juga perlu diperhatikan karena jika dari bentuknya tidak
seperti sediaan suppositoria pada umunya, maka seseorang yang tidak
tahu akan mengira bahwa sediaan tersebut bukanlah obat. Untuk itu,
bentuk juga sangat mendukung karena akan memberikan keyakinan pada
pasien bahwa sediaa tersebut adalah suppositoria. Selain itu,
suppositoria merupakan sediaan padat yang mempunyai bentuk torpedo.
3.
Uji waktu hancur
Uji
waktu hancur ini dilakukan untuk mengetahui berapa lama sediaan
tersebut dapat hancur dalam tubuh. Cara uji waktu hancur dengan
dimasukkan dalam air yang di set sama dengan suhu tubuh manusia,
kemudian pada sediaan yang berbahan dasar PEG 1000 waktu hancurnya
±15 menit, sedangkan untuk oleum cacao dingin 3 menit. Jika melebihi
syarat diatas maka sediaan tersebut belum memenuhi syarat untuk
digunakan dalam tubuh. Mengapa menggunakan media air? Dikarenakan
sebagian besar tubuh manusia mengandung cairan.
4.
Keseragaman bobot
Keseragaman
bobot dilakukan untuk mengetahui apakah bobot tiap sediaan sudah sama
atau belum, jika belum maka perlu dicatat. Keseragaman bobot akan
mempengaruhi terhadap kemurnian suatu sediaan karena dikhawatirkan
zat lain yang ikut tercampur. Caranya dengan ditimbang saksama 10
suppositoria, satu persatu kemudian dihitung berat rata-ratanya. Dari
hasil penetapan kadar, yang diperoleh dalam masing-masing
monografi, hitung jumlah zat aktif dari masing-masing 10 suppositoria
dengan anggapan zat aktif terdistribusi homogen. Jika terdapat
sediaan yang beratnya melebihi rata-rata maka suppositoria tersebut
tidak memenuhi syarat dalam keseragaman bobot. Karena keseragaman
bobot dilakukan untuk mengetahui kandungan yang terdapat dalam
masing-masing suppositoria tersebut sama dan dapat memberikan efek
terapi yang sama pula.
5.
Uji titik lebur
Uji
ini dilakukan sebagai simulasi untuk mengetahui waktu yang dibutuhkan
sediaan supositoria yang dibuat melebur dalam tubuh. Dilakukan dengan
cara menyiapkan air dengan suhu ±37°C. Kemudian dimasukkan
supositoria ke dalam air dan diamati waktu leburnya. Untuk basis
oleum cacao dingin persyaratan leburnya adalah 3 menit, sedangkan
untuk PEG 1000 adalah 15 menit.
6.
Kerapuhan
Supositoria
sebaiknya jangan terlalu lembek maupun terlalu keras yang
menjadikannya sukar meleleh. Untuk uji kerapuhan dapat digunakan uji
elastisitas. Supositoria dipotong horizontal. Kemudian ditandai kedua
titik pengukuran melalui bagian yang melebar, dengan jarak tidak
kurang dari 50% dari lebar bahan yang datar, kemudian diberi beban
seberat 20N (lebih kurang 2kg) dengan cara menggerakkan jari atau
batang yang dimasukkan ke dalam tabung.
7.
Volume Distribusi
Volume
distribusi (Vd) merupakan parameter untuk untuk
menunjukkan volume penyebaran obat dalam tubuh dengan kadar plasma
atau serum. Volume distribusi ini hanyalah perhitungan volume
sementara yang menggambarkan luasnya distribusi obat dalam tubuh.
Tubuh
dianggap sebagai 1 kompartemen yang terduru dari plasma atau serum,
dan Vd adalah jumlah obat dalam tubuh dibagi dengan kadarnya dalam
plasma atau serum.

Keterangan
:
X
= jumlah obat dalam tubuh
C = kadar obat dalam plasma atau serum
DIV
= dosis obat dalam pemberian IV
Doral =
dosis obat dalam pemberian oral
F = fraksi dosis
oral yang mencapai peredaran darah sistemik dalam bentuk aktif.
= bioavailabilitas
absolute obat oral
Co= kadar plasma
atau serum pada waktu T = 0 (ekstrapolasi garis eliminasi ke t = 0 )
Besarnya
Vd
ditentukan
oleh ukuran dan komposisi tubuh, kemampuan molekul obat memasuki
berbagai kompartemen tubuh, dan derajat ikatan obat dengan protein
plasma dan dengan berbagai jaringan. Obat yang tertimbun dalam
jaringan mempunyai kadar dalam plasma yang rendah sekali
sedangkan Vd
nya besar (misalnya, digoksin). Untuk obat yang terikat dengan kuat
pada protein plasma mempunyai kadar plasma yang cukup tinggi dan
mempunyai Vd
yang kecil (misalnya, warfarin, tolbutamid dan salisilat).
2.12Monografi
Monografi
bahan dalam pembuatan sediaan supositorian adalah sebagai berikut:
1.
Aminophyllinum, Teofilin Etilendiamin (FI
IV hal 90)

Pemerian:
butir atau serbuk putih atau agak kekuningan, bau ammonia lemah, rasa
pahit. Jika dibiarkan di udara terbuka, perlahan-lahan kehilangan
etilenadiamina dan menyerap karbon dioksida dengan melepaskan
teofilin. Larutan bersifat basa terhadap kertas lakmus.
Kelarutan:
tidak larut dalam etanol dan dalam eter. Larutan 1 g dalam 25 air
menghasilkan larutan jernih, larutan 1 g dalam 5 ml air menghablur
jika didiamkan dan larut kembali jika ditambah sedikit
etilenadiamina.
Khasiat:
obat asma.
2
Bisakodil, Bisacodylum (FI
IV hal 144)
Pemerian:
serbuk hablur, putih sampai hampir putih, terutama terdiri dari
partikel dengan diameter terpanjang lebih kecil dari 50 µm.
Kelarutan:
praktis tidak larut dalam air, larut dalam kloroform, dan dalam
benzene, agak sukar larut dalam etanol dan dalam methanol, sukar
larut dalam eter.
Khasiat:
obat laksativum atau memperlancar BAB.
3.
Oleum
Cacao (FI-III
hal 453)
Lemak
coklat adalahcoklat padat yang diperoleh dengan pemerasan panas biji
Theo Broma Cacao L. yang telah dikupas/ dipanggang.
Pemerian:
lemak padat, putih kekuningan, bau khas aromatic, rasa khas lemak
agak rapuh.
Kelarutan:
sukar larut dalam etanol (95 %)P, mudah larut dalam kloroform P,
dalam eter P dan dalam eter minyak tanah P.
Suhu
lebur:
310
– 340
C.
Khasiat:
zat tambahan.
2.13
Alasan
Pemilihan Bahan
a.
Amynophyllinum
Sebagai
bahan aktif yang berkhasiat untuk mengobati asma, zat aktif ini
dibuat dalam bentuk suppositoria karena untuk asma membutuhkan
penanganan yang cepat. Efek terapi yang diberikan jika sediaan dalam
bentuk suppositoria lebih cepat daripada dalam bentuk oral. Sediaan
dalam bentuk oral, kerja obatnya harus melalui absorbsi terlebih
dahulu, sedangkan sediaan suppositoria tidak melalui absorbsi
sehingga efek terapi yang diberikan akan lebih cepat.
b.
Oleum Cacao
Oleum
Cacao berdaya guna dalam melepaskan zat aktif daripada yang lain,
karena mempunyai titik lebur pada suhu 31°-34°. Dibuat dalam
bentuk suppositoria ditujukan untuk melebur pada suhu tubuh, karena
oleum cacao digunakan sebagai bahan dasar suppo yang ketambahan zat
aktif, jadi titik leburnya akan menjadi 35°-37°. Obat yang larut
dalam air yang dicampur dengan oleum cacao, pada umumnya memberi
hasil pelepasan yang baik. (Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi: 581).
Pada bahan tambahan oleum cacao ini dilebihkan 10% pada basisnya,
sebab basis saat dileburkan selain melebur juga menguap, sehingga
berkurang. Selain itu saat di dinginkan basis akan menyusut dan
berkurang oleh karena itu harus dilebihkan 10% pada basisnya.
c. Bisakodil
Sebagai
bahan aktif yang berkhasiat untuk menghilangkan rasa nyeri pada buang
air besar. Dibuat dalam bentuk suppositoria karena bentuk sediaan ini
akan membantu memberikan efek terapi yang lebih cepat dari pada dalam
bentuk oral. Sediaan dalam bentuk oral, kerja obat harus melalui
absorbsi terlebih dahulu, sedangkan sediaan suppositoria tidak
melalui absorbsi sehingga efek terapi yang diberikan akan lebih
cepat.
2.14
Cara
pemberian
Pemberian
obat dengan sediaan suppositoria dengan memasukkan obat melalui anus
atau rektum dalam bentuk suppositoria
Petunjuk
pemakaian: cuci
tangan sampai bersih, buka pembungkus suppositoria, kemudian tidur
dengan posisi miring. Supositoria dimasukkan ke rektum dengan cara
bagian ujung supositoria didorong dengan ujung jari, kira-kira
½-1 inci pada bayi dan 1 inci pada dewasa, bila perlu ujung
supositoria di beri air untuk mempermudah penggunaan. Untuk nyeri dan
demam satu supositoria diberikan setiap 4–6 jam jika diperlukan.
Gunakan supositoria ini 15 menit setelah buang air besar atau tahan
pengeluaran air besar selama 30 menit setelah pemakaian supositoria.
Hanya
untuk pemakaian rektal. Hentikan penggunaan dan hubungi dokter jika
sakit berlanjut hingga 3 hari. Jauhkan dari jangkauan anak-anak. Jika
tertelan atau terjadi over dosis segera hubungi dokter (Monson, 200
BAB
III
METODOLOGI
KERJA
3.1
Formulasi
Resep
Ø
Resep
1 (FORNAS,
21) à
Obat
Asma
R/
Aminophylinum 250 mg
Ol.
Cacao
qs
m.f supp dtd No.
II
S 2 dd 1 supp
Ø Resep
2 (FORNAS, 51) à
Obat
untuk Sembelit
R/
Bisacodil
5
mg
Oleum
Cacao
qs
m.f
supp dtd No. II
S
1 dd 1 supp
(malam
hari sebelum tidur, (ISO; 484-DULCOLAX))
3.2
Perhitungan
Bahan
a.
Aminophyllinum
Nilai
tukar : 0,86
Amino
yang diperlukan
= 2 x 0,25 g = 0,5 g
Berat
suppo
= 2 x 2 g = 4 g
Nilai
tukar
= 0,5 g x 0,86 = 0,43 g
lemak
yg dibutuhkan (ol. Cacao) = 4 g
– 0,43g = 3.57 g
Tambahan
lemak (ol.cacao)10% =
10/100 x 3.57 g = 0.357 g
Jadi,
tambahan lemak (ol.cacao)
= 3.57 g + 0.357 g = 3.927 g
b.
Bisacodil
= 10 mg x 2 = 20 mg = 0,02
g
Nilai
tukar
= 0,7 x 0,02 g = 0,014
g
Bisacodil yg
diperlukan
= 0,014 g = 14
mg
·
Pengenceran
bisacodil
Missal
penambahan 300 mg SL =
84
mg

Bisacodil
= 50 mg
SL
= 250 mg
Jadi
sisa pengenceran = 300 mg – 84 mg = 216 mg
·
Karena
bisacodil yg diperlukan 14 mg,
Maka
84 mg – 14 mg = 70 mg
·
Berat
suppo = 2 g x 2 = 4
g
·
Lemak
yg dibutuhkan = 4 g – 0,014 g = 3,986
g
·
Tambahan
lemak (10%) =
x
3,986 g = 0,3986
g

·
Jadi
tambahan lemak menjadi = 3,986 + 0,3986 = 4,3846
g
3.3
Alat & Bahan
Alat:
1.
Timbangan, anak timbangan, penara
2.
Perkamen
3.
Cawan porselen
4.
Sendok tanduk
5.
Sudip
6.
Batang pengaduk
7.
Mortir
8.
Stamper
9.
Serbet
10.
Pencetak
supositoria
Bahan:
1.
Aminofillin
2.
Oleum cacao
3.
Bisakodil
4.
Alumunium foil
5.
Saccharum Lactis
3.4
Prosedur
Kerja
Resep
1.
a.
Disiapkan alat dan bahan.
b.
Disetarakan timbangan.
c.
Ditimbang aminofillin 430 mg.
d.
Ditimbang ol cacao 3.927g.
e.
Dioleskan paraffin dalam cetakan supositoria.
f.
Dilebur oleum cacao hingga berbentuk seperti massa krim,
diangkat.
g.
Dimasukkan aminofillin ke dalam hasil leburan, diaduk ad homogen.
h.
Dituang ke dalam cetakan supositoria.
i.
Dibiarkan dingin dahulu, kemudian dimasukkan kulkas agar memadat
(membeku).
j.
Disiapkan alumunium foil sebagai kemasan.
k.
Dilepas supositoria dari cetakan, dibungkus dengan alumunium foil.
l.
Dimasukkan plastik dan diberi etiket biru.
Resep
2 (Bisakodil)
1.
Disiapkan alat dan bahan.
2.
Dibersihkan alat.
3.
Disetarakan timbangan.
4.
Ditimbang Bisakodil dengan pengenceran 50 mg di timbangan halus,
ditimbang
SL 250 mg. Lalu
dimasukkan kedalam mortir, digerus sampai halus lalu disisihkan.
5.
Ditimbang ol.cacao 4,3846
g
dengan cawan porselen di timbangan kasar, lalu dileburkan diatas
penangas. Setelah melebur, diangkat.
6.
Dimasukkan bisakodil kedalam cawan porselen yang berisi leburan
ol.cacao, diaduk rata.
7.
Disiapkan cetakan suppo lalu diolesi paraffin dengan kuas.
8.
Dituang sediaan dalam cetakan yang sudah siap.
9.
Ditunggu sampai sedikit dingin kemudian dimasukkan kedalam kulkas.
10.
Disiapkan alumunium foil sebagai pembungkus supositoria, setelah
mengeras dikeluakan supositoria dari cetakan lalu dibungkus dengan
alumunium foil.
11.
Dimasukkan kedalam plastic klip kedan beri etiket biru.
BAB
IV
HASIL
DAN PEMBAHASAN
4.1
Hasil
Uji
Homogenitas
1.
Diambil tiga 3 titik bagian suppo (atas-tengah-bawah atau
kanan-tengah-kiri).
2.
Masing-masing bagian diletakkan pada kaca objek kemudian diamati
dibawah mikroskop.
3.
Cara selanjutnya dengan menguji kadarnya dapat dilakukan dengan cara
titrasi.
Uji
Keseragaman Bentuk dan Ukuran
1.
Diambil suppositoria yang sudah di buat.
2.
Diamati satu dengan yang lainnya bentuk dan ukurannya sesuai standar
supo (berbentuk torpedo).
Uji
Waktu Hancur
1.
Supo dimasukkan dalam air yang di set sama dengan suhu tubuh manusia,
selama 3 menit.
Uji
Keseragaman Bobot
1.
Timbang suppo satu persatu dan hitung rata-ratanya.
2.
Hitung persen kelebihan masing-masing suppo terhadap bobot
rata-ratanya. Keseragaman/ variasi bobot yang didapat tidak boleh
lebih dari ± 5% (Anonim b, 1995).
Uji
Kerapuhan
1.
Supositoria dipotong horizontal. Kemudian ditandai kedua titik
pengukuran melalui bagian yang melebar, dengan jarak tidak kurang
dari 50% dari lebar bahan yang datar.
2.
Kemudian diberi beban seberat 20N (lebih kurang 2kg) dengan cara
menggerakkan jari atau batang yang dimasukkan ke dalam tabung.
4.2
Pembahasan
Dalam
praktikum ini, dibuat sediaan suppositoria. Dimana pada pembuatan
ini, ada dua resep yang dibuat. Pembuatan resep pertama, yang
dilakukan adalah menimbang bahan. Setelah itu dioleskan paraffin
dalam cetakan suppo, dilebur oleum cacao hingga berbentuk seperti
massa krim. Masukkan aminophyllin kedalam hasil leburan, aduk ad
homogen. Dituang dalam cetakan suppo, dibiarkan dingin dahulu,
kemudian dimasukkan kedalam kulkas agar memadat. Dilepaskan suppo
dalam cetakan, bungkus dengan alumunium foil yang sudah disiapkan,
masukkan kedalam plastik dan diberi etiket.
Pembuatan resep
kedua, yang pertama dilakukan menimbang semua bahan. Oleum cacao
dileburkan diatas penangas, diangkat. Kemudian bisakodil dimasukkan
ke dalam cawan porselen yang berisi oleum cacao, diaduk merata.
Dituang sediaan kedalam cetakan suppo yang sudah diolesi dengan
paraffin. Dimasukkan kedalam kulkas agar memadat, kemudian tunggu
beberapa saat. Keluarkan suppo dari cetakan, kemudian bungkus dengan
alumunium foil, masukkan kedalam plastik, diberi etiket. Kedua
sediaan suppo yang dibuat memenuhi syarat, karena pada cara pembuatan
sudah benar dan tepat sehingga sediaan menjadi bagus dan tidak rusak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar